Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

26 November 2011

perihal musim ; percakapan di sudut taman. dari bangku dan tiang lampu, senja tak pernah terlambat datang



dan kita memilin percakapan-percakapan atas detak yang gemetaran dan bermuara di dada. dan kita tahu, pertemuan ini memang hanya untuk kita. lantas senja yang hangat melintas di punggungku, lesap dan menetap di bibirmu. senja ini, telah menyusun tubuh kita. menjadi bangku dan tiang lampu.
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari taman itu.


Dan di belakangnya jingga berpendar/
pada tiangku dan sandaranmu./
tubuh kita berpilin sebelum akhirnya menyesal./
diam./
‘sudahkah saatnya?'/
tapi siapa yg butuh jawab?/
sebab setelah itu kita kembali berpilin;/
namun yang kali ini lebih hangat./
senja pun terbakar dan malam tak jadi datang./
musim semi datang lebih awal/
dan kita, tiang dan bangku selamanya./
hangat./


kau peramal itu. yang membuatku dan bangku bertanya-tanya. musim apa sebenarnya yang tersisa.

"ini musim pancaroba" bisikmu dulu.
"hujan bisa datang kapan saja dan selalu tiba-tiba"

tapi di taman ini, senja memang tak pernah terlambat datang. berpendar dan bergetar dari ujung kaki dan nanar mata kami.

"senja tak pernah terlambat kan tuan?"

duduklah sejenak, ada sisa genangan hujan, bau kembang, sorot lampu yang dicemburi kunang-kunang.
ada bangku yang hangat dan senja yang terbakar di sudut taman.

"tuan, setelah musim semi ini. apakah yang tesisa dari kami?"


Jika kau bertanya, para empu menamainya musim warna./
dan seperti bianglala, warna adalah jembatan suka cita/
tempat di mana embun-embun menyeberangi cakrawala/
sehabis hujan dan sebelum cahaya.//

senja/
udara/
musim dan cuaca/
matahari dan cahaya/
semua cemburu pada mereka//

di sudut taman, tepat di bawah akasia, sang peramal menutup usianya/
tua dan bahagia./
warna.///


duh peramal, turutlah kami bersuka. waktu memang tak sepatutnya merenggut apa-apa dari kita.
sehabis hujan, genangan di dada kami menguap. bau-bau kembang mengubur kami dari malam-malam yang sialan. tapi cuaca bulan ini memang cahaya yang lindap. sesore ini senjapun melumer di cangkir-cangkir kopimu. lantas bagian dari tubuhku yang meluruh jadilah abu, jadilah debu karena terbakar cahaya itu.

terima kasih tuan peramal...
aku bebas, aku beterbangan.
hinggap dari musim yang meriap-riap.
di kekalkan cuaca sebagai sajak.

duh peramal, turutlah kami bersuka. waktu memang tak sepatutnya merenggut apa-apa dari kita. tak pula engkau yang di tutup usia.

cahaya... cahaya... jasadmu yang jingga. kembang-kembang bertumbuhan dari pori-porimu.
ini musim yang tua, tuan.
turutkan aku berterbangan, hinggap, meruntuh dan menguburmu.....


kota maya/fb, 2010

#percakapan sajak Galih Pandu Adi (GPA) dan mas Pandu Birowo (PB)
huruf miring sajak GPA, huruf tebal sajak PB

1 komentar:

redthundie mengatakan...

ini keren banget mas penyair