Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

24 Januari 2009

Andai Saja Kau Tahu

Lagi-lagi hujan pula yang menyuruhmu datang pada sketsa rumahku
Sebelum jejak-jejak angin habis
Sajak-sajakku telah kikis bersama secangkir kopi manis
Yang telah kuhidangkan di meja tamu
Jauh sebelum subuh menepismu
Di depan pintu,

Aku hanya mampu memandangmu lewat celah jendela
Menanti kau masuki ruang-ruang luka
Dari sini telah ku sisakan nama-nama
Yang kubaca dari garis-garis patah di tanganmu
Setiap satu bait kita lahirkan dosa

Semoga saja kau tahu,
Aku hanya ingin membuat Tuhan tertawa

Semarang, 16/01/09

21 Januari 2009

Gerbong Kereta



Gerbong-gerbong kereta ialah isyarat keranda

dan nisan hanyalah jurusan

hendak ke mana kita berpulang

saat loket di buka

orang-orang bergiliran mengantri pada penjagalan


Denting lonceng,

pilar-pilar tegak ialah isyarat

pelayat menunduk dan mendoa

saat gerbong-gerbong kereta semakin jauh

ke arah rembang

pada stasiun tak bernama

di kota tua yang terlupa


masih ada perbincangan terakhir

hingga aku mengingatkanmu

akan roda sejarah terakhir yang datang

yang tak bisa menanti

dan suara peluit kereta ialah sasmitha

mengingatkan untuk berjejalan

bersama wajah-wajah pucat

mengantarkan pada kota

yang lama kita tanggalkan wajahnya

dari ingatan


– “Aku harus berangkat” katamu –

kelak bila jumpa,

hendakkah kita bisa saling menyapa?

dan aku lebih memilih rebah ke rumah malam

dari pada menungguimu diusung gerbong keranda

pada akhir sebuah peradaban


Gerbong-gerbong kereta ialah isyarat keranda

dan nisan hanyalah jurusan

hendak ke mana kita berpulang

maka seperti pelayat

ku titipkan doa lewat kamboja

saat denting lonceng semakin riuh

dan rembang semakin berlabuh


Semarang, 5 Februari 2007

19 Januari 2009

Di Atas Sajadah Batu



di atas sajadah batu

kita tak henti melenakan rindu

betapa keras kepala beradu

dan tanah betapa rela menerima darah

seperti sungai mengendapkan prahu

mengalirkan bunga-bunga salju

juga sayap-sayap ibu

ke muara itu

angkuh

dan biru


di atas sajadah batu

kita terus mentasbihkan bisu

yang kekal merayap di daun

di lembayung kering

juga telinga kita enggan menerima bising

Kau menantiku dalam wening

aku mentahlilkan nama abu-abu


Semarang, Maret 2008
puisi ini masuk dalam antologi bersama "Aku Ingin Mengirim Hujan"

15 Januari 2009

Di Dalam Kamar Kita Bertaruh


Kita telah bertaruh di atas batu
Tentang kabar yang layu atau matang di dada perawan
Sedang telah ku sulut lilin-lilin di atas bahumu
Sebagai penanda malam yang istirah di rimbunan rambut
Sebelum aku mengeja kelopakmu diam-diam

Orang-orang tak berlidah mengejek di luar pintu
Dan kita masih merengek di atas batu
Hujan tak juga datang

Semarang, 14 Januari 2009

12 Januari 2009

Catatan Ngawur dari mas Agung Hima


AKU INGIN KESANA, mengendapkan laraku. Jan 3, '09 11:09 AM
for everyone
Category: Other
AKU INGIN KESANA, mengendapkan laraku.
[catatan ngawur untuk puisi-puisi Pandu]

[1]
Biasanya anak-anak muda yang pernah jatuh cinta, sedikit banyak pernah menulis apa saja yang dirasakannya dimana saja dan dalam bentuk apa saja. Salah satunya adalah puisi. Biasanya pula, puisi yang ditulis mendayu-dayu, lembut dan passion banget. Puisi jenis seperti ini bisa meloncat-loncat liar, tak terdeteksi oleh estetika bahkan kadang lebih bicara tentang remeh temeh, berkaitan dengan yang dirasakannya. Tapi bagaimana jika sebuah puisi yang ditulis ketika anak muda itu telah melewati hal-hal seperti itu, dan menemukan dunia baru yang sama sekali tidak dimengerti oleh orang lain dan mungkin juga dirinya sendiri?

Apa yang mungkin dipilih dalam pengolahan kata-kata yang dikumpulkan dalam sajak yang diciptakannya? Apa yang ingin disampaikannya ketika puisi itu sudah menjelma utuh di depan pembacanya?
Pandu, saya kenal belum begitu lama, yang saya tahu dia mahasiswa sastra dan bergabung dengan kelompok teater semarang. Perkenalan kami sangat aneh, pernah bertengkar dan tiba-tiba saja begitu akrab, dan tahu-tahu menunjukkan puisi-puisinya. Saat itu ia menunjukan puisinya yang ditulisnya semasa SMA, sejak itulah saya mengerti ia sarat dengan kontemplasi. Saya tidak menduga ketika membaca puisi SMA itu ditulis dengan penuh perasaan dan sangat berbeda dengan puisi anak-anak SMA lainnya. Saya melihat ia begitu dewasa dan seperti sudah begitu dekat dengan cinta itu sendiri.

Dan suatu hari ia menunjukan puisi-puisi terkininya, sarat metaforis yang manis. Metafora yang dia keluarkan langsung mengikat kuat dalam pilihan katanya. Meski untuk beberapa hal ia masih kebingungan dalam menggunakan metafora tersebut, tapi saya yakin bahwa itu adalah berdasarkan pengalaman empiris yang dia alami dan akan semakin matang. Tengoklah sajak lelaki dan hujan saat desember.

Seorang lelaki mengenakan tubuhku lewat desember yang basah
Berbiak di depan pintu dan mengguruiku
Tentang batu-batu berwarna merah
Aku serupa arwah dalam kabut gaib
Berwajah sakit

Seperti kita ketahui bahwa kata atau bentuk bahasa mempunyai relasi dengan dunia nyata. Sehingga istilah referensi digunakan untuk merelasikan bahasa dengan yang bukan bahasa, di lain hal ada relasi unsur bahasa dengan pengalaman seseorang. Relasi inilah yang disebut pengertian (sense) (1). Maka di dalam puisi Pandu berlalu lintas relasi antara bahasa dengan dunia pengalaman dan relasi antara unsur-unsur bahasa itu sendiri. Seorang lelaki mengenakkan tubuhku, mempunyai makna yang sulit dipahami. Pada kalimat tersebut ia seperti bercerita tentang persoalan psikologis yang kuat. Ada semacam persetubuhan penting didalam pengalaman hidupnya lewat desember yang basah.
Saya kemudian menangkap ada sebuah harmonisasi yang disepakati sebagai kata yang bisa mengungkapkan gagasan atau merangsang ide. Jika disadari bahwa kata adalah penyalur gagasan tersebut maka kalimat awal dalam puisi itu membuka ruang baru untuk menstimulus siapa saja pembacanya ke arah imajinasi lain. Kalimat selanjutnya, berbiak di depan pintu dan mengguruiku, tentang batubatu berwarna merah, adalah sebuah kematangan dalam pemilihan kata/diksi (2). Maka suatu kekhilafan jika dalam puisi beranggapan bahwa pilihan kata adalah persoalan sederhana.

Saya masih percaya bahwa persoalan ini bukanlah persoalan yang bisa terjadi dengan sendirinya atau tidak perlu dipelajari. Sebab sebagaimana keseharian, banyak kita jumpai orang-orang yang kesulitan mengungkapkan maksudnya dan miskin variasi bahasanya, juga kita jumpai orang yang boros dan mewah mengobralkan perbendaharaan katanya namun tidak ada isi yang tersirat di balik kata-kata itu. Maka ketika puisi menjadi sebuah hegemoni untuk mengungkapkan kasunyatan dalam bahasa alegoris, semua itu sangat diperlukan.

Aku serupa arwah dalam kabut gaib, berwajah sakit. Sebenarnya sampai kalimat ini, saya sudah merasakan kecukupan. Ibarat disuguhi Le paillard yang lezat tiba-tiba saya harus menghabiskan beef stroganoff, sirloin, tambah Roast beef platter dan semua harus kutelan dalam hitungan itu juga. Maka secara pribadi saya kembali membuka ruang baru dengan siapa saya berhadapan kali ini.

[2]

Asu! Kok aku dadi serius ya? Puisine Pandu kok diseriusi! Mumet malah! Membaca puisi Pandu, saya seperti diajak rekreasi dalam dunianya yang lain. Dunia yang jarang dijumpai oleh anak-anak muda jaman sekarang. Saya mendapati seorang anak muda yang begitu tekun melakukan kontemplasi. Saya tidak akan menghakimi apakah dia melakukannya dengan benar atau tidak, namun ia bersikukuh dengan apa yang tengah dijalani saat ini. Barangkali ia sudah menemukan kebenaran yang memang didambanya setiap saat, bahkan saat ia mengalami sebuah perjumpaan ataupun perpisahan dengan sesuatu yang dicintainya.

Di dalam puisi-puisi Pandu saya tidak mendapati setiap katanya diawali dengan biasa saja, kata yang dipilihnya adalah pembentukan karakter hidup dia sendiri. Saya tidak menemukan kata-kata yang sia-sia. Barangkali kelemahannya adalah ia belum mendapati sebuah acuan yang pas antara bentuk dan referen (3) sehingga menimbulkan makna atau referensi yang timbul akibat hubungan bentuk itu dengan pengalaman non linguistik atau barang-barang yang ada di alam. Semisal ada kalimat nares, maka tak banyak yang tahu. Ia harus diberi petunjuk dengan sejumlah referen hidung, telinga, matahari atau gunung. Untuk membantu mengetahui makna itu maka ditunjukanlah barang yang sesuai dengan itu, yaitu hidung.

Lha, saya sendiri tidak tahu, apakah Pandu juga mengerti tentang hal ini, seharusnya sebagai mahasiswa sastra tentu yo ngerti banget. Atau jangan-jangan ia jarang berangkat kuliah? Nah lo! Saya pikir ini adalah jebakan ketika membuat puisi, meski saya percaya bahwa puisi akan lebih dinikmati ketika keluar dari rasa-nya, namun akan lebih baik jika mengalami keseimbangan dalam hal apapun. Sehingga ketika disuguhkan ke pembaca, serupa kesempurnaan esetetika itu sendiri, puisi adalah sebuah spiritual achievement yang layak konsumsi.

Tak saya pungkiri bahwa puisi Pandu mempunyai daya stimulus untuk memulai sebuah perenungan. Lewat pengkayaan kata yang dimilikinya, ia menawarkan sebuah rekreasi pengalamannya. Dalam puisi SAAT MENGAJI kita akan dibawa pada sebuah pengalaman spiritual yang aneh. Barangkali pada hijaiyah awal, ia sudah menemukan apa yang diimpikannya saat masih kanak-kanak. Sebagaimana judul yang dipilihnya saat mengaji sangat berbunyi proses ia melakukan iqra. pembacaan yang dialaminya inilah yang kemudian membuka curhat-nya lewat puisi ini.

Maka pada sub judul ayat-ayat api, saya menemukan dirinya pada sebuah ruang dimana ia merasa menjadi kaf fa’ ro’. Bagi saya, adalah sebuah keberanian menyebut dirinya sendiri kafir! Inilah sebuah proses awal bagaimana memahami iqra itu secara konsisten. Sebagaimana keinginan purba manusia yang selalu mencari kebenaran, maka Pandu dalam puisi ini bercerita menemukan kebimbangan yang dijalaninya, seorang lelaki melemparkanku ke dalam kitab abu-abu, bahkan padanya aku tak tahu hendak kemana puisi ini menuju.
Lha saya sendiri hanya tersenyum saja, apapun proses seperti itu memang layak dijalaninya. Dalam hati saya bertanya, kenalin dong lelaki yang melemparkanmu itu.hehehehehehe.

[3]

Puisi Pandu memang tidak akan segera mudah dipahami, selain mempunyai kekuatan semantik seperti yang saya sebut diatas, ia kadang juga terjebak dalam flooding yang dia ciptakan sendiri. Ada semacam ketidakpercayaan pada dirinya untuk menghentikan kata. Sehingga pada beberapa puisi, maksud yang harusnya sudah tersampaikan menjadi bias kembali. Pembaca akan berputar-putar pada sebuah estetika lain lagi. Maka jika puisi menjadi alat ungkap, maka Pandu tidak bercerita secara normal.

Namun saya yakin, bahwa dengan waktu ia akan bisa lebih jeli untuk kembali memilih kata yang akan ia ungkapkan. Yang patut disadari adalah bahwa makna kata tidaklah statis, perubahan inilah yang akan dihadapkan kepada kita tentang kesulitan-kesulitan baru bagi pemakai kata. Sebab itu untuk menjaga pemilihan kata, sebaiknya setiap penutur bahasa memperhatikan perubahan-perubahan makna yang terjadi.

Bagi saya pribadi, puisi Pandu ingin bercerita banyak hal konteplatif, meski dibalut dengan relasi-relasi yang kadang menyebal dari itu. maka saya selalu bisa menikmati puisinya. Sambil nggaya sok tahu bisa menangkap apa yang diceritakannya, maka aku ingin kesana, mengendapkan laraku. Bukankah semua orang mengira tidak mempunyai lara, padahal rumahmu tidak mencuri apapun darimu. Tapi harus kemana aku mengendapkan laraku? Wasyah! [agunghima]

1. Dalam pengertian sehari-hari disebut juga makna, entah makna kalimat, makna structural dan sebagainya. Bidang inilah yang disebut dengan semantic structural yang seringkali dipertentangkan dengan semantic leksikal.
2.Dalam pengertian ini jauh lebih luas daripada apa yang dipantulkan kata-kata saja, tidak melulu kata yang mengungkapkan suatu gagasan atau ide. Meliputi juga fraseologi yang mencangkup kata dan pengelompokannya, gaya bahasa sebagai bagian diksi yang bertalian dengan ungkapan individual atau karakteristik bernilai artistic tinggi.
3.(barang yang diwakilinya) Menurut odgen dan Richard dalam the meaning of meaning, symbol adalah unsure linguistic (kata atau kalimat), referen adalah obyek (dalam dunia pengalaman), sedangkan referensi atau oikiran adalah konsep. Menurut teori itu tak ada hubungan langsung antara symbol dan referen, hubungannya harus melalui konsep.

Gp, 2 jan 09; 03.50”
Tulisan ulasan ini dapat di lihat di; http://agunghima.multiply.com/
Ditulis untuk diskusi kecil pembacaan karya puisi Pandu. Retro Studio, 2 jan 09

Buat Mas Agung Hima, matur suwun ulasannya.

10 Januari 2009

Kereta di Mata Ibu

menggemuruhkah batu-batu?
saat gerimis perlahan
penanggalan almanak tertahan
dan jejak-jejak sejenak
terhenti di stasiun
kereta tak jalan
tertahan
di sudut matamu

Puisi ini masuk dalam antologi Puisi bersama "Aku Ingin Mengirim Hujan"

5 Januari 2009

Orang-Orang Bermata Batu



Selayaknya lewat jemariMu aku tulis semacam puisi
Sajak tentang luka karena dada kita yang renta
Aku tak hendak berkata bahwa aku sang penebar hujan
Tapi lihatlah gerhana di korneaku
Sedang orang-orang bermata batu tengah berbisik-bisik curiga
Lalu mereka kirimkan luka-luka baru di alas sujudku

Sementara dalam tafakurku lihatlah aku tak menangis bukan?

Semarang, 30 Desember 2008