Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

28 Juni 2011

Sketsa Rumah Berahim Api



Aku berjalan entah kemana. Hanya berjalan saja. Menuju pintu-pintu yang terbuka. Barangkali di rumahmu, aku melawat kerinduan yang purba. Sedang pertemuan hanya pertaruhan saja. Siapa mengisi, siapa mencuri. Nama-nama yang datang dan almanak-alamak yang tanggal di garis tanganmu. Aku seperti patah di ujungnya.

Siapa datang mengetuk jendela lalu kita sama-sama melepaskan gelisah di ujung mata. Ini lidahku senja berwarna kelabu. Sampai malam benar-benar datang. Kita tak tahu siapa lagi yang datang melunasi rindu.


Ini rumah berahim api. Aku datang menuju perabotan-perabotan yang telah jadi arang. Siapa menyulut kobar sampai hanya dendam yang kau simpan. Bocah-bocah berdada telanjang merengek di depan televisi yang terbakar.


"Ibu, aku minta segelas susu yang selalu kau siapkan sebelum bis sekolah jemputan datang".

"Ayah, kenapa tak pernah kau ajari aku bermain layang-layang sedang rumah kita di sebelah pematang"?

Kau masih saja melempar kayu-kayu ke atas tungku. 
Merebus air mata dengan tempurung kepalamu.

"Ayo siapa yg lebih dulu mendaraskan gerimis sampai rumah kita redam di riwis tangis?"


Seorang lelaki, tubuhnya yang kering adalah kemarau yang pecah di muka tanah. Tubuhnya retak di singkap hidup yang tak lelah menyalak. Tapi jantungnya itu musim dingin yang lemah berdegup karena gigil seperti tak putus gemetar sampai doa benar-benar tanggal. Duh, kenapa perjalanan penuh sabit dan luka. Sampai saat aku datang tubuhmu semakin kikis dengan kepala mendongak ke langit-langit kamar. Mengintip langit di atap kaca. Karena malam telah datang dan yang terlanjur terjejak hanya aplha.


Duh, kau yang menyingkap rahasia lewat berbagai bahasa. Kenapa kau singkap hijab itu sampai aku tak bisa berkata-kata?

Kecuali terus ku sebut namamu tanpa reka-reka dan aku semakin tak tahu apa-apa.

Aku takkan berhenti bertanya tentang rumah dengan kesumat dari rahimnya. Seorang wanita di sudut kamar mendaraskan tangis api di matanya. Sampai sudut-sudut penuh kobar. Dinding-dinding pecah dan memar adalah tubuh lelakimu.


Sampai pamitku di baris puisi. Kita seperti lelah menunggu hujan. Hanya sesekali isak dan gerimis di detak dadamu. Kita tak tahu siapa datang mengetuk pintu mengkhatamkan duka yang matang.




Yogyakarta, 26 Februari 2010

26 Juni 2011

Saat Ayah Berdoa



tubuhmu
lesap angin
menghempas jendela
mengatupkan pintu-pintu
pada malam yang tua
seperti wajahmu
berderit
menunjuk langit
mengabarkan hidup yang sakit
siapa datang
dengan tawa yang masam?
melipat halaman-halaman
tentang kota dengan jalan berasap di garis tangan
sedang musim pergi menghilang
selalu menunjuk arah bayang

Klaten, 05/02/2010

yang di sisakan angin

kita singgah, dari punggung angin sampai ke langit tak terjamah. kita sempat menemu sebagai huruf di bilangan waktu. aku masih tak mengerti mengapa mesti mengenalmu semacam ini.

ku bilang mata belati itu genap. tapi kau terus bersepakat bahwa luka selalu ganjil. sekarang aku sudah tak memiliki apapun untuk melunasi cemasmu itu. dan kita terus tetirah di punggung angin yang dingin.

12 Juni 2011

Soliloqui 4

aku sadar, kita telah jauh tersesat dari labirin malam yang kosong, yang merujuk kita untuk terus menerus berbohong. dari runcing jarum jam dinding, harapan semacam apa lagi terus berkelebat?

derit ranjang, yah barangkali hanya itulah satu kesempatan untuk kita bersepakat. selebihnya, kubiarkan kau menjelma bebayang. aku mengeras, lantas melumer dengan kepala terbakar serupa lilin di atas altar. berpendaran, dan terus menjelmakanmu serupa malam. serupa kenangan yang kosong.

semarang, 12 Juni 2011

10 Juni 2011

*Loro Tangis

yang sembunyi dan terus mengintai. berbiak dari wajah pintu sampai derit kerandamu. mengabarkan sakit paling dalam, tanpa sekalipun kau temukan alasan. mencatat riwayat, angka di kalender dinding yang terpelanting. bulu-bulu sayap sepi izrail bermukim jauh di dasar gelas. luruh bersama butir-butir kopi yang kau seduh, yang kau cecap teramat pagi.

*loro tangis layung-layung
loro tangis layung-layung
larane wong wedi mati
sopo bisa ngelingno
kejobo pengeran iro



* lirik syair penutup tembang laesan/sintren berjudul loro tangis...