Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

4 Juli 2016

Media Indonesia, 3 Juli 2016, Teruntuk Nun. Berkah Ramadhan...





Lapar

Nun, tak akan pernah sampai batin ini selain ketika bening matamu kunikmati dalam sendiri. laparlah yang membikin kita merasa masih menjadi manusia. dan suatu ketika, kau akan bertanya perihal burung-burung di langit yang berlayaran ketika mega mendung menitikkan hujan. sementara, suaranya yang bersiul-siul di dadamu telah membikin sepi di mataku.

ada api yang menjilati udara di sini, di lambung ini
sementara detik-detik bertanggalan di jendela.
“kau dengarkah tiktak nya?”

kehilangan adalah hal yang sederhana, Nun. maka berbahagialah. seperti sore yang mengajarkan kita berkemas. sementara rel-rel kereta telah menuntun sepatu kita kepada cemas.

“adakah suatu sore nanti, dapat kubenarkan letak syal yang berjuntaian di lehermu. dan sepotong api, kutitipkan pada ranum dadamu. lalu kupandangi kau, lama sekali.”

marilah tetap merasa lapar seperti ini, Nun. kita semakin menjadi manusia karenanya. dan aku menjadi ingat, bahwa aku pernah mengasihimu; yang diam-diam menyalakan lentera, di kepalaku


Yogyakarta, Mei 2016

 

 Nyala lampion di sepasang mata


seperti nasib yang tak akan pernah kita miliki, Nun
lampion-lampion yang bermalam-malam kita nyalakan
dikibas kering angin baratan
lantas segalanya kembali, kepada;
padam

dan sebuah pintu yang semalaman kau buka
telah membawa ribuan burung-burung yang tua
dan dari kelepaknya yang satu dua
berderit-derit cericit seperti derit jendela
semacam suara saat aku mengingatmu, Nun

mereka-mereka yang memasuki dada;
matanya seperti lampion yang hampir padam
seperti matamu, sebuah mercu yang terus mengintaiku

"kemarilah, Nun. engkau yang jauh
 yang pernah melipatku di muram subuh"


Yogyakarta, 2013 - 2016




Pulang kepada malam, Pulang kepada laut

pulanglah kepada malam, Nun
ketika langit di kaca jendela memuram
bulan yang lindap itu mencair
sebuah perahu dari tulang belulangku berlayaran di langit itu

"kau tahu kapan Tuhan mencipta cahaya?"
bisikmu saat dingin dermaga menekan dada

marilah pulang kepada malam, Nun
saat burung-burung origami beterbangan di laut yang murung
kapal-kapal pun turut pulang
pada sebuah dermaga, dengan tiang-tiang lampu
yang nyalanya malas menggapai bayang;

“di laut yang mana aku akan tenggelam?”
bisikmu terasa benar menekan dada

ketika bulan jatuh di kaca jendela
langit yang jauh, membisik tiada
angin menampikmu
sebagai suara
di dermaga
yang tak pernah sampai
yang tak pernah pulang

Yogyakarta, 2016





8 Januari 2016

di sebuah padang yang kita namai surga


tuhan yang manakah, Nun?
sedang mezbah itu sepi belaka
dan kelembak juga asap-asap dupa,
cuma merayapi sungai-sungai susu, batang ranting pohonan,
dan belukar-belukar yang sulur-sulurnya menggait leher-leher
malaikat tanpa sayap dan iblis
tanpa mata juga kita
yang telanjang
tanpa
rahasia

Musa memukul-mukulkan tongkatnya ke batu karang
lalu, laut pecah, dan ikan-ikan
terbanting ke tanah

"dari biji-biji pasir, kau lihatkah, bagaimana sapi berkulit emas itu lahir?
dan kita, menungganginya dengan begitu bahagia?"

selepas menetak kepala berhala,
orang-orang berlarian ke seberang sana,
di tepian itu, Nun; tanah dan dermaga-dermaga terbakar
di langitpun, tak ada yang berlayar
cuma cahaya
cuma cahaya

"kau lihatkah, bagaimana Ibrahim mengejar orang-orang itu lantas mengalungkan sebilah kapak ke leher mereka?"

Parasurama, di sebuah kota tanpa sentana
menghantam-hantamkan kapak ke dadanya sendiri
dan Durga, mengibas-ngibaskan loncengnya
ke dada kita

dingin macam apakah ini, Nun?
yang merayap di telapak kaki
sedang, telah kita nyalakan belencong dan tiang-tiang lampu di ujung jemari

di bukit Sinai, mereka-mereka yang telah pergi
akan lahir kembali sebagai biji-biji gandum

dan di sini, akankah kita potong roti ini
dan kita mulai perjamuan
bersama kawanan burung-burung nazar
yang lapar?



Semarang, Agustus 2014


*ilustrasi lukisan karya Koeboe Sarawan