Serupa peron di sebuah stasiun yang ramai, orang-orang mengantri
tiket, membaca papan-papan pengumuman, melihat jam tangan, duduk di
bangku tunggu dan membaca koran. Orang-orang menunggu kedatangan kereta,
sebuah jemputan yang mengantarkan pada kota yang kadang sama sekali tak
pernah sanggup kita reka serupa apa wajahnya, begitupun denganku.
Semua, sama menunggu.
Ketika sebuah kereta datang hampir
dari kami semua berjejalan. Memasuki pintu kereta yang sempit, menyusuri
lorong-lorong penuh bangku kosong. Sebuah ruang di mana sepi dan ramai
saling jalin satu sama lain, berbenturan. Dan dengan sengaja kami
harapkan untuk datang. Mengangkut peristiwa-peristiwa, kenangan,
nama-nama, tanda-tanda, pertemuan, kehilangan dan harapan. Segalanya
diberangkatkan, menuju kota yang terlahir di antara kami. Kota yang
tumbuh di gerbong-gerbong kereta.
Saya menyusuri gerbong
yang serupa lorong kota yang kumuh demi sebuah bangku kosong untuk
istirah dan membiarkan kereta ini mengangkut kami entah ke mana. Pada
gerbong pertama, tampak orang-orang berebut tempat duduk. Ada kakek tua
dengan tongkat jalan dan pipa cangklong di tangannya berjalan setengah
cepat _meskipun tetap saja lambat_ tampak mengumpat dan marah-marah
karena tempat duduk yang hampir diduduki di serobot orang. Ada bayi-bayi
menangis karena haus dan kepanasan sedang ibunya tengah melirik lelaki
tampan di bangku seberang. Orang-orang membawa tas-tas kecil besar dan
barang bawaan. Gerbong yang semula sepi jadi sesak pengap dengan
benda-benda, dengan tubuh-tubuh, tanda-tanda, suara-suara ramai riuh.
Semua orang menggerutu, melepaskan demam dan kecemasan. Yang telah duduk
mapan mencari-cari percakapan. Menyusun peristiwa untuk kenangan.
Tampak
seorang lelaki telah duduk menyilangkan kaki dan membaca
halaman-halaman koran dengan murung. Ia menulis sajak dan membacakannya
dengan hening. Seorang lelaki lain di seberang tempat duduknya membalas
sajaknya dengan melempar sajak-sajak lain dan botol-botol bir.
Orang-orang lain yang melihat mereka tiba-tiba berteriak dan mengumpati
mereka berdua. “
Dasar penyair gila!” kata seorang lelaki gemuk botak dengan gulungan koran yang teracungkan.
“Kalo
mau baca puisi di panggung, Tuan. Bukan di sini. Tak semua orang suka
kata-kata puitis, kata-kata gombal yang melenakan para perempuan” balas seorang wanita setengah baya.
“Kawan, buatkan aku puisi cinta untuk seorang gadis yang akan kunikahi bulan depan” kata seorang lelaki lain berambut cepak dan berperawakan seperti tentara.
Mereka
berdua tetap tak perduli. Mereka dengan berdiri di atas tempat duduknya
tetap saling melempar sajak. Orang-orang yang tak suka melempari mereka
dengan benda-benda yang ada. Sepatu, sandal, tas, koran, dompet, pisau
jagal, belati, caci maki, batu-batu, baju-baju, telor busuk, puntung
rokok, bunga, api yang menyala dan lain sebagainya. Semua orang jadi
saling melempar. Sisi yang satu melempar benda-benda dan kebencian, sisi
lain melempar sajak-sajak dan kerinduan. Gerbong jadi makin riuh,
pengap dan berantakan. Dua lelaki penyair itu tetap melempar kata demi
kata, membenamkan sepi demi sepi ke dada mereka. Lantas mereka saling
melukis di tubuh masing-masing dengan pena, air mata dan pecahan
botol-botol bir.
Saya bersusah payah keluar dari gerbong
riuh dan berantakan itu. Melewati tubuh-tubuh yang berdesakan. Setelah
melewati gerbong pertama, di gerbong berikutnya saya melihat orang-orang
tengah sibuk menata gerbong dengan kain penuh warna, dengan lampu-lampu
meriap yang menyesakkan dada. Saya mendengar seorang wanita dengan
senyumnya yang tentram menembang jawa, begitu lirih, tajam dan
menyentuh.
Seorang lelaki tua dengan secangkir kopi dan matanya yang teduh membaca mantra dan doa-doa.
“berbahagialah semuanya di sini. berangkatkanlah duka dan kecemasan kami. cukupkanlah atas semuanya” begitulah rapalnya.
Mereka
ternyata tengah menyiapkan sebuah panggung pementasan teater di dalam
gerbong. Saya melihat lakon-lakon yang dipentaskan. Mendengar
dialog-dialog tumpang tindih, dan tumpukan naskah yang berserakan.
Sebagian dari mereka ada yang saling tertawa-tawa dan bahagia. Sebagian
lain membatu begitu pucat. Mereka bertirakat, merayakan kesedihan dan
kegembiraan dengan cara masing-masing. Melakoni kehidupan kecil di
sebuah gerbong dengan suka cita dengan kesedihan yang tabah. Di sudut
lain pada bagian gerbong ini, orang-orang berkolaborasi memainkan
seruling, gitar, jimbe, triangle, kenong, bonang, siter, harmonika,
biola. Menggenapi lelakon dengan begitu khidmad. Melahirkan
pementasan-pementasan kecil di dalam gerbong kereta. Bersedih dan
berbahagia dalam waktu bersamaan. Pada akhirnya, menangis atau tertawa
memang sama saja.
Dalam hati saya bertanya-tanya;
“Ini kereta macam apa sebenarnya?”
Di
jendela, saya melihat rel kereta yang terus jauh, terus memanjang.
Menembus hutan, menembus jantung kota, menembus langit, menembus mata,
menembus dada. Di luar, hujan mulai berjatuhan, membikin gambar di
jendela dengan wajah kabut berwarna basah . Aku terus berlalu, mencari
sebuah bangku yang hampir semuanya telah terisi, dan gerbong-gerbong
penuh dengan tubuh-tubuh yang gaduh.
Melewati gerbong
berikutnya, tiba-tiba saya mencium bau garam. Saya berhenti, memegang
sebuah batang baja untuk pegangan, memejamkan mata dan menghirup udara
dalam-dalam. Saya jadi teringat laut dan kampung halaman. Teringat para
nelayan yang menjaring doa di laut. Seorang ibu menyalakan api di
tungku, merebus air mata anak-anaknya, menanak kecemasan suaminya saat
harga beras melambung lagi, saat anak-anak tamat sekolah dan mesti
melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, saat bocah-bocah lebih senang
nonton televisi daripada mengaji. Saya teringat teman-teman yang
menyalakan lilin dan membaca sajak saat malam begitu purnama di dada
kami, di sebuah stasiun lama yang lama tak difungsikan lagi. Menyuarakan
kekalahan-kekalahan orang pinggiran. Diam-diam mencatat kerinduan di
tembok-tempok usang rumah cina yang akan segera dirubuhkan untuk
pelebaran jalan. Ingatan tentang sebuah
klenteng tua _yang
konon didirikan untuk mengenang perjuangan tiga tokoh pahlawan yang
gugur saat membela tanah pusaka dari penjajahan Belanda_ dan di seberang
ada sebuah warung kopi sederhana. Di sana orang-orang membatik rokok,
meleletkan ampas kopi ke batang-batang rokok dan membakarnya lantas
berbincang tentang harga kopi yang naik lagi karena BBM juga terus naik.
Seorang bercerita tentang istri dan anaknya yang masuk rumah sakit
sedang ia sendiri terus saja terjerat utang.
Gerbong ini
benar-benar membawa kerinduan saya pada kampung halaman. Tentang
orang-orang berbincang tentang sejarah kota, dan kami yang tak pernah
tahu sejarah kami sendiri. Hirau, abai, tak perduli tentang maksud
kelahiran itu sendiri. Ada yang menjaga, merawat, melahirkan riwayat. Di
bagian lain ada meruntuhkannya. Kami mengumpulkan batu-batu arca
leluhur yang
di-pecah-kan karena berdiri di atas tanah
pertambangan lantas kami menyusun kembali batu-batu itu menjadi arca
kecil berwajah serupa kami. Perlahan-lahan, kota kelahiran kami ini
meruntuhkan perasaan kami, anak-anaknya sendiri. Diam-diam kami
bersepakat untuk secara diam-diam tetap mencintai kota ini.
Lintasan
ingatan saya menuju rumah, kepada nenek, kepada bapak ibu dan saudara
yang begitu dekat. Ini adalah rel kepulangan barangkali. Pulang menuju
sebuah kolong ranjang di rumah untuk meringkuk, menarik diri. Memilih
hidup atau mati. Bayi-bayi yang mengubur dirinya di kamar, malam tidur
di atas ranjang, pagi-pagi sudah berkeliaran di kolong ranjang. Atau
setan-setan yang muncul dari kolong ranjang. Saat bocah-bocah mulai
belajar tidur sendiri, di kamarnya sendiri. Dari kolong ranjang
keluarlah potongan tangan, potongan kaki, kepala, telinga, tubuh-tubuh
temutilasi, peri-peri kecil, atau tuhan yang kesepian. Tentang wajah
kakek yang meninggal, tubuhnya berselimutkan kain batik di atas ranjang.
Di kolong ranjang kami menyalakan batang api.
"agar tak tersesat jalan kepulangannya, agar tak gelap di alam sana".
“Kota macam apa yang lahir dari kolong ranjang para bayi dan orang-orang mati?”
Saya berusaha keras menyadarkan diri. Ini hanya kenangan, hanya bebayang yang tak bertuan. Saya harus
kembali
dan sekarang saya jadi benar-benar tak mengerti apa yang tengah terjadi
di gerbong-gerbong kereta ini dan kenapa mesti menaikinya. Mungkin
hasrat untuk pulang atau mencari seseorang yang berjarak begitu jauhnya
dan saya membutuhkan angkutan bernama kereta untuk sampai ke sana.
Entahlah. Saya hanya berjalan, terus saja berjalan. Melewati gerbong
demi gerbong, melihat orang-orang melahirkan kotanya masing-masing,
memiliki harapannya masing-masing, memiliki riwayatnya masing-masing.
Ada yang saling bertemu di sana dan akhirnya menjadi kekasih, ada yang
melahirkan pertikaian lantas berusaha keras saling menikam, ada yang
mencoba saling mensiasati untuk mendapat bangku atau kolongan tempat
tas-tas bawaan mesti ditempatkan. Dan saya terus saja berlalu, seperti
mereka, bersiasat mencari bangku.
Mereka, orang-orang di
gerbong yang entah kenapa begitu ingin saya kenali _yang sebenarnya
mungkin juga telah saya kenali. Kami melakoni keadaan sebagai penumpang
dengan sederhana, kami bersedih dan berbahagia dengan sederhana, dengan
cara-cara yang barangkali hanya dapat dimengerti oleh kami sendiri.
Saling menegur, saling tersenyum ramah, saling memasuki kota-kota yang
tak sengaja kami bawa, bercinta, mengumpat, memendam, menikam,
mencintai, dan saling meninggalkan dengan begitu sederhana.
Di
luar jendela, wajah-wajah berlalu. Di dalam keretapun kami terus hadir
dan berlalu. Entah sampai pada gerbong yang ke berapa saya berjalan.
Pada sebuah gerbong yang telah tenang, di kejauhan tampak sebuah bangku
kosong yang tak berpenghuni sementara orang-orang telah menduduki
bangkunya masing-masing. Mereka telah saling mengenali dan mengisi.
Sebagian saling tak perduli. Saya bergegas menuju bangku tak berpenghuni
itu. Di sebelah bangku kosong itu, telah ada seorang gadis muda dengan
earphone
di telinganya, dan sedang menatap halaman-halaman sebuah buku. Ketika
saya datang, sepintas ia melihat ke arahku, tersenyum, menggeser
tubuhnya ke sudut dan mempersilahkanku untuk duduk. Aku memasukkan tas
bawaan ke rak atas sembari melihat kembali ke gerbong-gerbong di
belakang yang telah kulewati. Mengenali kembali wajah orang-orang yang
secara sepintas telah kutemui di gerbong kereta termasuk wajah gadis
muda yang tengah membaca buku bacaan dengan
earphone di
telinganya dan sekarang saya telah duduk di sebelahnya, menempatkan
punggung yang lelah dan melihat ke luar jendela. Melihat
bangunan-bangunan berlalu, melihat wajah-wajah yang sejenak tadi saya
kenali bergegas datang di kaca jendela, berlesatan dan menghilang. Saya
mencoba beralih dengan melihat wajah gadis di sebelah. Ia tak perduli,
matanya menatap buku, telinganya mendengarkan suara-suara yang
diciptakan sebuah kotak mesin kecil canggih bernama aneh ;
i-pod,
fikirannya menjelajahi dunia yang dibangun oleh buku bacaannya dan tak
perduli pada apapun lagi termasuk padaku yang diam-diam mencuri matanya.
Entah
kenapa, ada sebuah perasaan rindu yang jauh. Seperti kekasih yang
terlalu lama memendam rindu, sampai lupa rindu ini mesti beralamat pada
siapa. Atau barangkali seperti bertemu kawan jauh dan lama tak jumpa.
Mungkin kita telah saling mengenal jauh sebelum kita bertemu. Ada kangen
seketika, datang dan meledak-ledak. Ingin menegur dan menyapanya, tapi
tak mampu. Hanya diam-diam mencuri kedalaman matanya yang serupa puisi,
yang menghisap kuat lantas menjatuhkanku teramat keras. Aduh!! rasanya
seperti mengalami amnesia akut, hilang ingatan, sampai tak ada apapun
lagi yang dapat saya ingat. Tak ada apa-apa lagi untuk kukenali. Hanya
matanya yang berkabut pekat dan dadaku yang asing, sebegitu asing dan
saya tetap tak sanggup menjangkaunya.
Sampai akhirnya
suara peluit kereta yang keras dan panjang tiba-tiba memenuhi telinga.
Menyadarkanku pada wilayah kesadaran yang lain. Segalanya hilang dan
berganti rupa, membentuk tubuhnya sendiri. Tiba-tiba telah tak ada lagi
wajah gadis itu, tak ada matanya yang dalam itu. Tak ada lagi
bangku-bangku, tak ada jendela, tak ada gerbong-gerbong, tak ada rel
ataupun kereta. Tak ada wajah orang-orang yang sepintas aku temui, tak
ada siapapun atau apapun lagi. Tetapi punggung dan tubuhku masih tetap
terduduk di sebuah bangku, hanya saja bukan lagi di bangku kereta
melainkan di sebuah bangku tunggu di sebuah peron yang pucat dengan
orang-orang yang mengantri di loket, dengan orang-orang yang resah
melihat jam tangan, melihat papan pengumuman, membaca koran-koran, riuh
sesak dengan tubuh dan percakapan-percakapan, teriakan, umpatan, keluh
kesah sampai sebuah kereta datang dan berhenti tepat di depan tempatku
terduduk.
Mereka, orang-orang yang ada di peron ini adalah
orang-orang yang telah kutemui secara sepintas di dalam gerbong-gerbong
kereta sejenak tadi, di sebuah kesadaran lain. Dan sekarang, mereka
telah hadir kembali di sebuah peron yang sama, pada kesempatan yang
sama. Mereka masih hanya berlintasan, saling berdesakan, saling menuju,
saling menunggu dan kami masih tetap saling tak mengenali. Seorang
wanita dengan buku bacaan dan
earphone di telinganya melewatiku
dengan setengah berlari menuju kereta yang datang. Aku terdiam,
menjangkaunya dalam pandangan sampai akhirnya ia turut hilang berdesakan
dengan tubuh-tubuh yang lain. Aku tetap terduduk dan tak sekalipun
beranjak, melihat sekitaran, melihat peristiwa-peristiwa tumbuh dengan
dada yang sangat asing.
Lamat-lamat peron mulai sepi,
orang-orang telah bergegas pergi. Sementara kereta telah semakin ramai
dan penuh. Saya melihat kereta itu berangkat, pelan-pelan menjauh.
Sampai akhirnya tatapan mata saya tertuju di sebuah jendela gerbong
paling belakang. Mengamati sesosok tubuh di tengah-tengah ribuan tubuh.
Seorang lelaki, dengan ransel di punggungnya, bertubuh seperti tubuhku,
berwajah seperti wajahku sedang berjalan berdesak-desakan di gerbong
kereta. Melihat-lihat sekitaran, mencari bangku kosong barangkali.
Sepintas
ia menatap jendela, sepintas juga ia melihat ke arahku lantas kembali
berpaling. Berdesakan, bererjejal-jejalan dan hilang di tengah riuh para
penumpang.
Entahlah, rasa-rasanya ada yang turut pergi
dari tubuhku ketika melihat kereta itu mulai pergi, berjalan cepat dan
terus menjauh. Dalam hati tanpa sadar saya berbisik;
“Hati-hati di jalan, Bung. Selamat mencari, selamat menemukan dan berbahagialah”.
Aku
tetap terduduk dan melihat kereta itu menjauh. Aku mungkin akan tetap
di sini, menunggu dan tetap menunggu. Entah menunggu apa. Barangkali
menunggu kereta selanjutnya, atau menunggu pertemuan dan kehilangan
selanjutnya...
Semarang, 26 April 2012