29 Desember 2008
SELAMAT TAHUN BARU 1430 H, SELAMAT TAHUN BARU 2009
Walau setiap hari adalah baru, semoga yang usang tak sekedar berlalu.
dan jejak-jejak hijrah kita semoga seperti mereka yang kian dimatangkan.
Ku iringkan, tanpa lagu. Di depan itu kita menuju.
Kesunyian
Kerahmatan
Semoga,...
23 Desember 2008
Lelaki dan Hujan Saat Desember
Seorang lelaki mengenakan tubuhku lewat desember yang basah
Berbiak di depan pintu dan mengguruiku
Tentang batubatu berwarna merah
Aku serupa arwah dalam kabut gaib
Berwajah sakit
Menggumamkan mantramantara penyakit
Dan langit di atas bukit selalu enggan melepaskan rindu dan petuah ibu
Hujan di bawah lampu
Adalah desember yang melambat di garis wajahmu
-garis tanganku
Lelaki menggenggam sabit
Mengenakan tubuh dari aksara ganjil
Lebih dulu meramalkan takdir
Tentang akhir seorang Khidir
Lewat desember di bawah lampu
Aku arwah yang basah serupa tanah
Saat logam-logam jatuh dari Langit
Semarang, 22/12/08
1 Desember 2008
Pesan Sebelum Maghrib
Lihatlah mata magrib tajam pada reranting
Saat kita harus melepaskan segala onak
Pada gelombang yang sepenuhnya menghantam
Aku memintalkan kesumat yang tak reda
Pada trotoar yang diam saja di telapak kakimu,
Tapi lemah sekali pamitmu pada muara di dadaku
Sedang gerimis ini takkan reda dan takkan pernah reda
Ciumlah tajam-tajam kuku di depanmu
Sebelum sesabit menetakmu saat malam
Saat segala menghantam
Dan ku pasrahkan mimpi –mimpi kecilku tertusuk di mata maghib yang tajam
27 November 2008
Rumah Sakit
Pada mulanya gedung ini tak berpenghuni. Lalu orang-orang bertubuh layu mencari teduh mulai menempati. Mereka dapati beranda yang kosong, lantai yang kosong. Meja dan kursi terbuat dari serat-serat yang juga kosong. Karna memang tak ada apa-apa di gedung ini selain pikiran mereka sendiri.
Mereka tidur di alas pikiran mereka sendiri. Makan dengan angin yang siup sepi, dan mereka senang. Lalu satu persatu dari mereka mulai mati karena sebanarnya mereka tidak memakan apa-apa selain sepi. Api-api yang hangat dipikiran mereka hanyalah siup angin yang gigil. Tapi orang-orang di kota menganggap mereka mendapat berkah dari gedung tak berpenghuni ini.
“Lihatlah! Orang-orang yang kena kutuk itu mendapat obat disini. Mereka tidur dengan nyenyak. Makan kenyang sampai istirah mereka yang panjang di dapat di sini.”
“Mungkin dulu ini adalah rumah seorang nabi. Dan rumah ini adalah sisa kerahmatannya yang kekal untuk umat.”
Lalu berbondong-bondong orang-orang kota itu mendatangi gedung ini. Mereka terkesima melihat pendahulunya sudah tergeletak mati.
“lihat mereka orang-orang kena kutuk itu di rahmati. Mereka sembuh! Ini yang kita cari!”
Dan perlahan-lahan mereka tempati gedung tak berpenghuni ini bersama mayat-mayat yang mulai busuk, kikis seperti daun di mulut ulat-ulat yang bermertamorfosis menjadi malaikat. Mereka jalani juga kehidupan seperti penghuni-penghuni sebelumnya. Mereka tidur di alas pikiran mereka yang kosong, membaca koran-koran yang bohong, mandi, bercinta, berkelahi di otak mereka yang hanya kosong, bahkan sampai makan dengan berak mereka sendiri.
Lalu satu-satu mereka mati, tanggal serupa almanak yang jatuh tiap hari. Tak seperti di luaran, waktu hanya mengekalkan bisu tak berjalan dan di kota dan di rumahnya mereka tak bisa mati, abadi kecuali di gedung ini. Dan disini mereka dapati ajal sebagai obat yang kekal dari kutuk tentang abadi.
Mati di otak mereka yang kosong dan sepi.
Mereka tidur di alas pikiran mereka sendiri. Makan dengan angin yang siup sepi, dan mereka senang. Lalu satu persatu dari mereka mulai mati karena sebanarnya mereka tidak memakan apa-apa selain sepi. Api-api yang hangat dipikiran mereka hanyalah siup angin yang gigil. Tapi orang-orang di kota menganggap mereka mendapat berkah dari gedung tak berpenghuni ini.
“Lihatlah! Orang-orang yang kena kutuk itu mendapat obat disini. Mereka tidur dengan nyenyak. Makan kenyang sampai istirah mereka yang panjang di dapat di sini.”
“Mungkin dulu ini adalah rumah seorang nabi. Dan rumah ini adalah sisa kerahmatannya yang kekal untuk umat.”
Lalu berbondong-bondong orang-orang kota itu mendatangi gedung ini. Mereka terkesima melihat pendahulunya sudah tergeletak mati.
“lihat mereka orang-orang kena kutuk itu di rahmati. Mereka sembuh! Ini yang kita cari!”
Dan perlahan-lahan mereka tempati gedung tak berpenghuni ini bersama mayat-mayat yang mulai busuk, kikis seperti daun di mulut ulat-ulat yang bermertamorfosis menjadi malaikat. Mereka jalani juga kehidupan seperti penghuni-penghuni sebelumnya. Mereka tidur di alas pikiran mereka yang kosong, membaca koran-koran yang bohong, mandi, bercinta, berkelahi di otak mereka yang hanya kosong, bahkan sampai makan dengan berak mereka sendiri.
Lalu satu-satu mereka mati, tanggal serupa almanak yang jatuh tiap hari. Tak seperti di luaran, waktu hanya mengekalkan bisu tak berjalan dan di kota dan di rumahnya mereka tak bisa mati, abadi kecuali di gedung ini. Dan disini mereka dapati ajal sebagai obat yang kekal dari kutuk tentang abadi.
Mati di otak mereka yang kosong dan sepi.
26 November 2008
Dan daun-daun pun jatuh...
; Nien Nurullita, Gema Yudha, Adin Khoiruddin, Khumaida
“Dan angin akan tetap berhembus dengan sejuta bisik gaibnya, hingga tak ada seorangpun yang mampu mengenalnya… (entahlah)”.(Nien Nurullita)
Hingga pada waktu, batu-batu mencium bisu. Jatuh di punggung tanah, angin tak pernah pulang ke rumah…
Dan daun-daun pun jatuh…
“Dan daun-daun pun jatuh, meranggas tak kenal musim. Tapi tak ada gelisah. Mungkin pasrah…” (Gema Yudha)
Lelap pada tanah. Musim di atasnya pancaroba yang lelah. Rumah di bawahnya mengeja istirah…
Dan daun-daun pun jatuh…
“Ada kata yang belum terungkap hingga pada akhirnya aku menyerah.”(Khumaida)
Kita kalah. Terlampau lelah. Di punggung tanah dekaplah istirah.
"Jarakmu dan jarakku saat ini tak seberapa jauh dengan cara aku mengenalmu. Kau pasti sedang menilaiku mengingkari namaku sendiri dengan mengatakan bahwa sampai saat ini aku masih suka mengingatmu”.(Khumaida)
Jarak itu adalah sedekat urat leher, sejauh malam di kaca jendela. Pada akhirnya sepi yang berkuasa. Dan kita berbelok pada gang yang berbeda. Ia pasti mengira aku memintal kutuk itu. Ia bahkan tak tahu. Tak tahu gaib me’reka apa.
Menjelma siapa
Dan daun-daun pun jatuh…
“Segala mengabur, bayanganmu bayanganku. Sementara dahan tempat bertahan sudah tidak dipercaya kuatnya. Batang-batang pun kelak tumbang bukan?(Adin Khoiruddin)
Maka pada tanah kita jatuh. Usai dan….
“Itulah kehidupan.”(Nien Nurullita)
*Puisi ini lahir atas bantuan teman-teman saya diatas. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk mereka…
“Dan angin akan tetap berhembus dengan sejuta bisik gaibnya, hingga tak ada seorangpun yang mampu mengenalnya… (entahlah)”.(Nien Nurullita)
Hingga pada waktu, batu-batu mencium bisu. Jatuh di punggung tanah, angin tak pernah pulang ke rumah…
Dan daun-daun pun jatuh…
“Dan daun-daun pun jatuh, meranggas tak kenal musim. Tapi tak ada gelisah. Mungkin pasrah…” (Gema Yudha)
Lelap pada tanah. Musim di atasnya pancaroba yang lelah. Rumah di bawahnya mengeja istirah…
Dan daun-daun pun jatuh…
“Ada kata yang belum terungkap hingga pada akhirnya aku menyerah.”(Khumaida)
Kita kalah. Terlampau lelah. Di punggung tanah dekaplah istirah.
"Jarakmu dan jarakku saat ini tak seberapa jauh dengan cara aku mengenalmu. Kau pasti sedang menilaiku mengingkari namaku sendiri dengan mengatakan bahwa sampai saat ini aku masih suka mengingatmu”.(Khumaida)
Jarak itu adalah sedekat urat leher, sejauh malam di kaca jendela. Pada akhirnya sepi yang berkuasa. Dan kita berbelok pada gang yang berbeda. Ia pasti mengira aku memintal kutuk itu. Ia bahkan tak tahu. Tak tahu gaib me’reka apa.
Menjelma siapa
Dan daun-daun pun jatuh…
“Segala mengabur, bayanganmu bayanganku. Sementara dahan tempat bertahan sudah tidak dipercaya kuatnya. Batang-batang pun kelak tumbang bukan?(Adin Khoiruddin)
Maka pada tanah kita jatuh. Usai dan….
“Itulah kehidupan.”(Nien Nurullita)
*Puisi ini lahir atas bantuan teman-teman saya diatas. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk mereka…
25 November 2008
Di Ujung Almanak
Almanak di dinding batu
Pada sisi itu kita memang harus menunggu
Ibu di situ
Dengan kembang kantil di tangannya
kita tak henti mengecupinya
Pada akhirnya sepilah yang berkuasa
Sejenak perjalanan
Kita harus berbelok pada gang yang berbeda
Di sana pelayat menunggu
Kamboja
Juga doa di putiknya
Ia menanti di sana
Percintaan hanyalah iba yang tak reda
Gemetar
Lalu tiada
Pada sisi itu kita memang harus menunggu
Ibu di situ
Dengan kembang kantil di tangannya
kita tak henti mengecupinya
Pada akhirnya sepilah yang berkuasa
Sejenak perjalanan
Kita harus berbelok pada gang yang berbeda
Di sana pelayat menunggu
Kamboja
Juga doa di putiknya
Ia menanti di sana
Percintaan hanyalah iba yang tak reda
Gemetar
Lalu tiada
Selepas Gerimis
Selepas gerimis
Kita tak hendak beranjak dari lengang yang riwis,
Aku kau tak hendak beralih
Dari langit maha kabut
Kita yang terpilih
memintal kutuk itu,
Kita yang terpilih menunggu
Tangan gaib mana merabamu
Juga mengulurkan kenanga?
Matamu ungu
Merancap ujung keris bisu
Nafasku kelembak dupamu
Melawatmu
29 Oktober 2008
Aku Membatu di Tepi Jalan
Tak bisa ku lepas kata
Hujan jatuh di atap
Aku membatu di tepi jalan
“Siapa merendahkan doa diputik kamboja?”
Ah... aku lelah mengeja
Kataku tak kunjung sampai
Mereka berpaling
Menari-nari di makam
Aku membatu di tepi jalan
Semarang, 26/20/08
Hujan jatuh di atap
Aku membatu di tepi jalan
“Siapa merendahkan doa diputik kamboja?”
Ah... aku lelah mengeja
Kataku tak kunjung sampai
Mereka berpaling
Menari-nari di makam
Aku membatu di tepi jalan
Semarang, 26/20/08
Ku Layarkan Puisi
Tak lelah ku layarkan puisi
Tentang kamboja yang ranggas,
Kemarau merah dendam,
Juga langit sunyi.
Ngarai di dadaku sudah ku jabuti
Putingmu purnama sidi telah ku jajaki
Aku kau kembara serupa nabi
Tanganku memintal api
Dadamu rumah sepi
Aku kau tanggal serupa puisi
Jatuh bersama rintik yang enggan
Kita gamang ziarahi zaman
Semarang, 24/10/08
Tentang kamboja yang ranggas,
Kemarau merah dendam,
Juga langit sunyi.
Ngarai di dadaku sudah ku jabuti
Putingmu purnama sidi telah ku jajaki
Aku kau kembara serupa nabi
Tanganku memintal api
Dadamu rumah sepi
Aku kau tanggal serupa puisi
Jatuh bersama rintik yang enggan
Kita gamang ziarahi zaman
Semarang, 24/10/08
16 Oktober 2008
Bersenang-senanglah diteras kenangan yang purba
Kelak inilah juga sisa-sisa di lantai beranda
Malam kian tenggelam
Percintaan kita kian kelam
Ikan-ikan di bulan
Aku berdayung sampan menujumu
Bunga kamboja di lekung keranda
Kita yang kian masyuk berdo'a
juga bercinta
Di garis usia yang kadang lunak
kadang tamak
Kelak inilah juga sisa-sisa di lantai beranda
Malam kian tenggelam
Percintaan kita kian kelam
Ikan-ikan di bulan
Aku berdayung sampan menujumu
Bunga kamboja di lekung keranda
Kita yang kian masyuk berdo'a
juga bercinta
Di garis usia yang kadang lunak
kadang tamak
Langganan:
Postingan (Atom)