Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

24 September 2009

Sebuah Jalan dan Nama di Tubuh Daun

pada jalan, lengang kita tak terpautkan
deru-deru dari nasib waktu
melumat kita,
menjadi serupa debu
bulan menepi di kaca-kaca matamu
aku mendo'a untuk sempat memotongnya
menjadi sabit
yang menetak tubuhku satu persatu

aku menghitung bilangan ganjil
dan mereka-reka kembali ingatan
pada gaib
yang menyekutukan kita
dan melarikan sunyi di kantong-kantong mata

sesekali aku melihatmu di sisi jendela
kau masih berdiri tanpa menoleh sedikitpun
menjabat angin yg resah menyibak daun
dan meruntuhkannya saat hari makin matang

menghitung satu-satu yang gugur
"adakah namaku di tubuh daun?"


Solo, 21/09/09

15 September 2009

Subuh Dalam Denging yang Tak Selesai

subuh merapat
kita tergesa mengeja kalimat
dan gema yang terlempar dari ranah sepi itu
kini berdenging dan menyesak di dadamu
penuh
tubuh kita meluruh

sebilah kapak ibrahim kau kalungkan di leherku
dan tongkat musa telah kau lempar ke muara batu
tepat saat subuh menetak lidahku
yang terbata mengeja namamu

Semarang, 13/09/09

Sketsa Daun Pintu

Kau sudah mulai kelelahan sepertinya. Mencatat setiap kealphaan, mendengar setiap keraguan. Sampai harus kau tutup pintu mati-matian. Menyuruhku pergi sebelum aku sempat mendekapmu. Sedang sejak kita bertemu pernah ku katakan padamu, mengenalku kau hanya akan menemui kemalangan.

Kau sendiri yang memaksaku sebelum kau tak mampu melepasku. Aku pergi karena memang kau harus sendiri. Memintal doa-doa di sudut sepi. Air matamu yang deras bermuara di muka pintu. Memanggilku untuk kembali.

Sudahlah, pintumu memang telah patah di tubuh angin yang sama sekali tidak pernah kita panggil, dan kau terus menambalnya dengan air mata. Bersyukurlah kita masih bisa menangis.

Rindu memang memilih ujungnya sendiri. Pintu itu juga telah memilih tamunya sendiri. Kau tinggal duduk dan memulai percakapan. Aku tak peduli jika sesabit bulan yang lama kau eram telah memutus pergelangan tanganku saat ku genggam tanganmu.

Pintu itu pula yang melempar kita pada ranah yang sama. Di kota penuh kutuk. Kita juga di kutuk. Menjadi angin yang tak tahu sarangnya. Hanya berpusing di tanah tandus dan mengirimkan debu di mata para musafir. Mencium punggung daun, menarik-narik tangkainya, lalu putus.
Setidaknya kita tidak jadi badai yang mengangkat atap dan doa-doa ke langit itu, yang ketika sampai di sana segalanya hanya akan terbakar. Karena beribu-ribu malaikat penjaga takkan sudi pelataran rumahNya di masuki begitu saja, kecuali tamu yang memang telah di tunggu.
Dan itu bukan kita.

Aku ingin tertawa sekarang. Aku juga melihatmu tersenyum lepas. Kenapa dulu aku tak memaksa untuk tinggal. Menanggalkan segala kecurigaan. Membiarkan sabit itu memotong-motong tubuhku yang lain. Sedang aku tahu telapak tanganku masih kau genggam. dan kita bertemu kembali untuk menghitung sisa-sisa percakapan.

"aku mencuri tanganmu" katamu.

"aku mematahkan daun pintumu"

"Sialan!"

Memang! Sekarang aku hanya berharap dapat mencium bahumu diam-diam, dan saat kau palingkan tubuhmu aku telah menghilang. Bersama angin yang menunggu di depan pagar. Menjadi kedukaan yang kau tenun rapi dalam ingatan.

Aku tahu tak ada orang lain yang kau biarkan masuk, walau banyak yang mengetuk. Selain aku, dulu. Terima kasih sayang.

Sekalah air matamu dan tahanlah tangismu. Pintu itu akan membuka dan memilih tamunya sendiri. Kau tinggal duduk dan mengulang percakapan.


Semarang, 14/09/09

5 September 2009

Sketsa Kelopak Mata dengan Pendar Cahaya Bulan

Adalah lidahmu yang laut, melumatku dalam ombak. Dan dadamukah itu sunyi-sunyi merapat? Berdoa di sudut sepi dan aku terima saja kau habisi. Kau telah melihatku melebihi diriku sendiri. Maka kirimkan pedar lampu itu di alas sujudku, juga keduklah tanah itu, kuburkan tubuhku di situ dan kelak ziarahilah lewat doa-doa yang likat, saat sunyi kembali merapat.

Kau pasti telah tahu lebih dulu, bahwa percakapan kita pasti selesai. Maka kau biarkan aku datang dan secangkir teh hangat telah lama kau siapkan. Kadang kelu juga lidahku, karena kau memang lebih memilih menjalani perdebatan dengan segala yang mengabu. Sampai sepi pun harus kita habisi saat maghrib terlampau cepat datang, waktunya aku pulang dengan senyum kecil, dan sebait rindu selesai juga kita tuntaskan. Sudut matamu bercahaya, serupa rahim kunang-kunang yang dari sana memancarkan pendar cahaya temaram. Sewarna bulan yang matang, kini bulan itu jatuh tepat di sudut matamu. Sungguh kelak pastilah aku merindukanmu. Walau tanpa percakapan yang panjang, sunyi dengan segala yang diam.

Maka lelaplah kita saat setengah bayang bulan jatuh di tiang keranda. ah,, matamu, sajak-sajakku tersesat di sana, lemparlah kembali dan kirim ke muaranya. Seperti saat kita kenangkan duka lalu nafas kita yang panjang melepaskan segalanya.

Lelaplah lelap dan katupkan matamu lewat doa-doa yang tersesat di tepi ranjang kita. Dan selesaikanlah kau tenun duka-duka, karena aku takut mengelus pipimu yang merah masak, juga ku kirim sunyi ke lubang telingamu. Hingga tak ada suara lain yang kau dengar selain denging dan detak jantungmu sendiri.
kadang menyebut namamu,
kadang menyebut namaku,
kadang tak siapa-siapa,,,

Lelaplah lelap dan habisi segala duka lewat kelopak matamu.

Kita memang mudah kalah dan rela di habisi,
tapi kita belum selesai bukan?

Ku cium keningmu dalam pendar bulan, juga sajak-sajak yang tanggal.



Semarang, 05/09/09