Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

27 Maret 2009

Sepotong Bulan dan Langit Untuk Lelaki




Sepotong bulan di bawah lampu
Dan langit yang rindu

Lelaki menggenggam belati dan mengumpati puisi-puisi basi
Dari tangannya bulan perak adalah kembang bambu
Juga gang-gang sepi beralamat langit yang pasi
Mari mengutuki mimpi
Juga kalimat-kalimat bohong
Mulutmu kosong?
Ah dasar omong kosong
Hati perawan di sakunya
Bulan perak,… Bulan perak,…
Berhala serupa apa menetak kesumat?
Lidah logam berkarat
Sekarat,..
Sekerat tangis
Kapak Ibrahim di leherku
Kepala lelaki di kembang bambu
Langit sepi sekali
Sekali lagi ku asah badikku lewat darahmu

Ah betapa ingin segera ku kemasi namamu
Menjadi sepiring nasi
Dompetmu kosong?
Lihat! Langit di ujung matamu pucat pasi
Bulan perak jatuh di beranda rumahku
Kepalamu masih di tertancap di kembang bambu
Bulan perak puisiku

Pekalongan, 26/03/09

Yang Dalam Sembahyang



Dan langit yang kita tatap
Telah mencuri segala kenangan atas rindu
Kini ku sebut satu persatu sisa-sisa perpisahan
Yang serupa kabut jatuh
Yang merambat di kolong ranjangmu
Lautkah yang ombak dan berkecipak di lambungmu?
Dan telah ku ciumi bau rambutmu yang hutan
Yang gelap dan sesat atas segala jalan
Maka ilalang yang sembahyang
Adalah yang bergoyang dengan segala kutukan
Yang kau lupa mengaji ketetapan
Yang ku alpha menziarahi kepulangan

Semarang, 19/03/09

16 Maret 2009

Waktu Hujan


Sesaat mata waktu mengerdip dan nafas kita tak berhenti sejenak melafadzkan kerinduan sampai akhir khatam hujan kurun deras menghempas pecah di kornea dan mata seperti matahari bercincin pelangi kemarau tak henti meranggas di wajah kering kusut dan ilalang perlahan tanggal seiring detak di bilik kabut

Senja berwana violet merayap juga di bibirMu lalu ayat-ayat yang terucap dan aku tak bosan memungut doa saat ku nemu jejakMu seperti percik darahku yang merayap di kaca
Semarang, 30/09/07


*Puisi ini masuk dalam antologi penyair 7 kota antologi puisi komunitas Hysteria Semarang berjudul "Mencari Rumah"

15 Maret 2009



Apakah Kau Percaya Sebuah Kebetulan?

1 Maret 2009

Jejak-Jejak Pada Sebuah Kepulangan

; Orang-orang yang lewat kesunyian kita telah bertegur sapa (dengan cara apapun)


Malam di ujung matamu, itulah yang ku lihat juga merayap di muka jendela. Sesaat berharap ada yang diam-diam menyiumi punggung kita tiba-tiba. Tapi sepi memang tak pernah berhenti, dan mata air di kelopak ibu bermuara juga di jantungku. Kini, inilah kebiadaban yang dikutuki malaikat bertongkat sabit. Karena akhirnya malam melemparnya kembali ke sini. Saat kita benar-benar telah mengunci sepi ke dalam almari. Dan ia telah mencecap rasa asing dari darah yang lumer lewat garis-garis berlubang di leherku juga air matamu yang turut bercampur di sini. Serupa menu makan malam yang biasa di santap kunang-kunang di atas batu. Lalu dari perut mereka berpendarlah cahaya-cahaya lampu. Dan itu juga yang tertelan di kerongkongan dan urat-urat matanya. Keasingan yang telah kita ziarahi dalam kepurbaan yang bernama doa.

“Apakah ia bisa berdoa?”

Ah! Sial!! Kenapa pula harus bertanya, sedang aku tak hendak memperdulikan itu. Karena inilah ketetapan. “Ah, malaikat ternyata juga punya nasib”.

Tuhan memang maha bijak. Sedang kau masih juga mengumpati namaku di garis tanganmu. Sedang dulu-dulu pernah ku katakan padamu, “aku bukanlah seorang pelayat yang baik”. Karena kegaiban yang benar-benar nisbi telah mengubahku menjadi seorang peragu, dan mulutku telah benar-benar terkunci untuk segala kebenaran. Maka kata-kata yang kau dengar hanya akan membuatmu bimbang. Tapi kau masih juga merindukanku. Dan malaikat itu telah cemburu.

Mengenalku, kau hanya akan memunguti kesialan.
================================================

Lalu seorang lelaki terduduk di atas batu. Tangannya menggenggam belati. Mulutnya menghisap candu, dan kepul yang menyeruak ke tubuh angin tercium bau mantra yang sekarat. Masih ada nganga yang menetes dan habis di tanah. Ia tak mampu menyarungkan kesumat. Kadang memang ada yang tak bisa terwakili lewat apapun. Dan sekarang, laki-laki itu tengah bersekutu dengan gaib, sembari menghitung-hitung nama yang harus di habisi malam ini juga.


“ini purnama ke tujuh” katanya. Bulan memang telah hilang.

Langit di sejengkal kepalanya hanya ingin mendekapnya dengan segala rindu dengan dikirimkannya hujan yang biru. Langit memang tahu apa yang harus terjadi. Termasuk dendam yang di tatapnya saat ini. Biarlah segala yang kasat mata menyeruknya menjadi batu seperti yang diduduki lelaki itu.

Aku memang tak ingin datang menemuinya. Karena ia hanya akan menemui luka-luka yang terselip di putik bunga kamboja yang ku bawa. Yang melenakanmu dan membuatmu berhenti waspada. Berhati-hatilah pada segala sesuatu yang diam tiba-tiba.

Langit di atas kita berwana jelaga. Mengeramkan sunyi juga kerindangan yang sama. Tapi seharusnya kau mengerti, di antara kita akulah yang paling terluka. Karena aku harus menimbang-nimbang segala kutukan. Dan aku ternyata adalah seorang peragu, termasuk untuk mengakhiri perjumpaan ini. Sampai ku putuskan juga aku harus menyudahinya sekarang. Membiarkanmu mengutukiku, sedang aku masih terus mengeja namamu. Entah dengan kegilaan apa. Tapi inilah akhir riwayat kita. Ada yang usai tiba-tiba. Dan aku sebenarnya tak mengerti apa itu, selain memang sebuah suara yang lindap dan runtuh di telinga kita berseru bahwa telah tamat amanatku. Aku yakin kau mengerti itu.

Maka simpanlah belati itu, setidaknya untuk saat ini. Karena aku takkan datang. Tapi tikamkanlah besok saat aku kembali mereka-reka. Tikamkan tepat di punggungku dan menembus keluar dadaku, saat aku tengah meramalkan hari matiku, dan segala kenaifan telah tanggal, bersama daun-daun yang jatuh ke tanah, juga darahku. Kuburkan aku tepat di situ.

Lihatlah punggungku, telah tumbuh sayap-sayap dari reranting kecil, yang tumbuh lewat benih kesunyian yang kau tancapkan tepat dan menyeruak di rusuk kiriku. Tapi aku mematahkannya, harus ku patahkan. Karena ku memang tak pernah memilih menjadi serupa malaikat, seperti yang kau kehendaki. Menggantikanmu memunguti arwah-arwah sakit yang tersangkut di riak-riak air, kulit-kulit pohon dan kediaman batu. Ah,.. itu terlalu menghabisiku. Karena kelak akupun harus memungutmu.

Maka biarkanlah segala sesuatu terjadi tanpa kita berencana dengan angan-angan yang basi. Aku pasti datang, tapi tidak sebagai kekasih yang kau rindukan. Karena aku hanya ingin menyapamu dengan sederhana saja. Mebawakanmu secangkir kopi dan kita kembali lesap dengan puisi-puisi yang terbata-bata bicara.

==========================================

Aku telah memalingkan muka dari langit dan doa. Memilih berlari ke lembah-lembah berlumut dan goa-goa wingit. Ya, aku tak kuasa untuk menerima segala pemberian itu. Aku tak pantas! Dan lebih baik aku berlari sendiri. Memintal-mintal api juga puisi kerinduan padamu. Menangisi kepergianku sendiri darimu. Sendiri saja, sekalipun aku tahu kau pasti tahu itu. Maka kutuklah aku sekarang. Kutuklah aku menjadi apapun yang menjijikkan. Maka aku akan kembali bertandang. Seperti anak yang rindu rumahnya, rindu rahimnya.

Akh,.. seandainya saja aku dapat bermukim kembali di rahim ibu. Merebah di sana, ranjang dari sekat-sekat doa yang tulus. Rumah yang bijak dari segala kesunyian. Dan setan-setan tak kan berani melawat. Karena inilah kejujuran yang lebih jujur dari saat apapun. Dan tembangkanlah kidung itu sekali lagi di telinga kananku tepat saat kelahiranku.

Seseorang wanita tengah bercakap dengan kesendiriannya. Berpura-pura menjadi trotoar dan pejalan-pejalan lewat di atas tubuhnya. Tapi memang begitulah hidup. Orang datang dan pergi. Lewat dengan meludah dan berlari. Dengan cara apapun mereka telah tumbuh bersama bulu-bulu tubuh di punggungmu. Turut juga aku bersama kenangan yang galau. Aku menamainya perempuan bergaun jingga. Yah, selalu memakai gaun sewarna senja. Aku turut pula melawat kediamannya, tapi akh,..!! betapa rumah itu telah menghabisiku! Atau kedatanganku yang dianggapnya pencuri jendela-jendela, saat kebisuan tengah menyergap tepat saat kedatanganku? Hingga jendela-jendela itupun lari. Lari kedalam saku bajuku. Dan aku memang sengaja tak mengatakan pada rumah kediamannya juga kepada pemiliknya. Wanita bergaun jingga, juga rumah sunyinya, sungguh aku hanya ingin menyapa kalian dengan sederhana karena nama-namamu juga yang melayat di garis tanganku. Berdiam di atas trotoar dari punggungmu. Juga ranjang di kamar tidur rumahmu tak pernah lelah memanggil-manggil namaku.

Maka kekalkanlah ini. Kekalkan segala ayat yang kita eja bersama. Mari mengaji, dalam kebutaan yang gagu. Ketamakan yang pelan-pelan bersarang di dada kita. Aku menyakini itu. Karena kitalah kealphaan yang benar-benar tak mengerti.

=================================

Saat semuanya tanggal aku temukan juga catatanmu. Seperti kau biarkan saja saat anak-anak angin kita yang nakal menyerukkan segala kebisuan dari ingatanku. “Mungkinkah aku mengenalmu jauh sebelum kita memilih untuk berumah?”

Kepada tanah yang rebah dengan segala ramah. Aku ingin meminum nanah yang mengucur dari ibu jari kaki-kakimu, empat-empatnya. Inilah istirah dari kepenatan yang lelah. Inilah kealphaan baru serupa penyakit lupa yang menjangkitiku selalu. Maka aku hanya seorang pendengar puisi-puisi dari ranah keramat yang tajam. Serupa puting susumu, juga rerumput dari ranah kelahiranmu. Tajam menetak kebekuan yang berguling-guling lepas di lidahku. Walau tak semuanya ku simpan dengan baik. Karena harus ku rebus juga semua milikmu dalam ingatan batu.

Saat itu kau pasti menebak-nebak telah keluar dari betisku sebuah jalu. Berjalan dengan menancap-nancapkannya ke dinding kamarmu, juga di keningmu. Setelah semua usai segala garis adalah ayat-ayat yang begitu terang. Percik dari cigarette bapak yang melenting dibahu. Inilah ayat api! Dan kau telah mengutukku serupa pencuri. Maka ku amini juga. Karena aku memang pencuri. Akulah pencuri kecil yang dikasihi Tuhan,………………

………………………………. Akhhhhhh,….!!! Tuhan Baiatlah aku sebagai Pencuri!!!!!!!

Maka aku tertawa kecil saja. Juga saat kaupun mengendap-endap di daun telingaku. Mencungkili batu berwarna emas yang kau cintai. Uh,.. rupanya kalian juga pencuri. Ambilah sesukamu. Itulah hartaku yang takkan habis. Satu-satunya. Dan habiskanlah karena aku tak ingin mempunyai apa-apa lagi.

Atas nama puisi-puisi yang merambat di dadamu Inilah catatan terakhirku. (Barangkali, walau kau anggap pula lagi-lagi sebagai barang curian. hahahaha,….)

Inilah jawaban! Dari dari duka-duka saat mengaji namaku. Tapi aku takkan berebut, karena kau berkata pelayat berhak menziarahi mayat dengan tumbal apa saja. Sedang selalu ku persembahkan belati dan melati. TUSUKAN,…!!!! TUDUNGKAN,…..!!!!!!!

Sial!! Kau malah mengirimiku sepucuk rindu dari moyang ingatanmu. Rindu yang ku kuliti saat sendiri, hingga aku harus mengunci keranda-keranda basi dihalaman belakang. Menangis sendiri atas segala kepulangan. Dan puisi-puisi yang merambat di dadamu berkata “apa sudah saatnya?”

“Mari tidur disini” bisikku

“Sambil mengaji dan mengaji?” tanyamu

“Terserah!” inilah ranjang berkelambu ungu. Ada nama-nama. Kau hendak mencuri siapa?
Langit merebah dan mengirimkan kamboja di sela telingamu. Terimalah dengan sederhana saja seperti ia memberimu.

Malaikat itu datang lagi, dengan segala tangis yang ingin ku tangisi. Bulan sabit di pinggangnya ku curi, ku gantungkan di jendela tamu.

Ku kunci pintu. Kau kunci pintu.
Tanah melipat kita dengan sangat bijak,….








Semarang,26/02/09