Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

30 Oktober 2009

Sketsa Wanita Bermata Kaca

Sampai harus kususun
pecahan-pecahan kaca
menjadi serupa
matamu


Entah sampai huruf ke berapa telah kuulang tiap percakapan. sampai rindu memang benar-benar selesai. Kau telah mampu menghentikan tangis dan matamu mengisyaratkan malam retak dengan sepi yang menggait punggung kita tiba-tiba, sampai harus saling lekat dan ku sandarkan kepalaku di kepalamu.

Seperti apa sebuah perjalanan telah melaju atas nama kita? dan gaib hanya kita sepakati dengan anggukan dan air mata. Di matamu, pernah dulu aku berkaca. Melihat tubuhku sepotong-sepotong. Tanganku, dadaku, punggungku, kepalaku lalu kau susun rapi menjadi utuh. Dan kukenakan kembali tubuh yang rapuh. Matamu itukah yang mengisyaratkat waktu berhenti dan detak jantungku seperti habis dilumat sepi?

Percakapan kita memang sampai karena memang harus kita akhiri dan matamu yang dulu kaca, retak dalam malam yang kian buta, berkaca-kaca. Dan kau kembali berjalan dengan mengemasi rindu yang selesai tiba-tiba. Simpanlah barangkali menjadi peta menuju kampung yang lelah menunggu kepulanganmu, atau larungkanlah ke sungai biar hilir menggenapi segala gaib yang mengait nama kita yang ganjil dan namaku sampai juga ke muara, semoga.

Kini kubiarkan kau berjalan dengan mimpi yang kau tepis. Bahkan sejak mula aku tahu kau takut merindukanku, maka kau tulis saja namaku di tanah biar disapu angin yang resah. Tapi aku berbelok dengan masih mengenangmu karena perjalanan takkan mampu dicuri lewat apapun. Dan aku tak takut menjadi orang yang kehilangan. Karena begitulah semestinya hidup. Di garis-garis tangan, tersusun samar sketsa wajah yang patah. Dan pecahan kaca dari matamu ku simpan di saku baju, barang kali kelak aku jatuh dan merindukan lagi tatap matamu.

Semarang, 30/10/09

26 Oktober 2009

Gerbang Kota

Pada gerbang kota
adalah waktu yang rapat
dan debu-debu sesat di pelupuk mata
jalanan memucat
lewat senja dengan garis sewarna jelaga
di atas trotoar
orang-orang memangkas nasib
sebagian tertawa
sebagian memicing mata

Tiang penyangga dari batu dan baja
kian berkarat dan melayu
tak habis mencatat
usia waktu

Semarang, 26/10/2009

21 Oktober 2009

Peta di Kolong Ranjang

aku jadi ingin rebah di kolong ranjang saja
sunyi dan kita lebih menerima bahwa kita memang sendiri
biar cahaya menyeruak di ranjang dan bantal
aku tak perduli jika luka makin mengental

aku ingin tidur di kolong ranjang saja
memintal benang-benang sepi
menjadi peta menuju kotamu
yang kerap ku kunjungi dalam mimpi

Semarang, 19 oktober 2009

3 Oktober 2009

Sajak Tanah Patah

tanah patah
seperti tubuh kami
dalam kedukaan
padang, pariaman

seperti apa isyarat harus merupa dalam ingatan
sedang segala laju musim takkan pernah mampu kita ramalkan
maka sekali lagi ku sebut namamu
dalam rapal-rapal yang kadang tak kami tahu
terduduk
dengan jari menunjuk
langit sepi
segala menepi di batas waktu
kita khatam berdoa
selesai ayat luka

Jika sajak-sajak adalah doa
ku harap sampai
dan aku terima
riwayat lepas merupa sakit
wajah kamilah yang sakit
dalam kedukaan
padang, pariaman.

Semarang, 03/10/09

2 Oktober 2009

Sketsa Belati Patah

Kau kembali. Ku kira kau akan datang dengan menerima segala kekalahan. Bahwa kita memang bukan siapa-siapa. Tapi kau datang lagi dengan kisah-kisah yang telah lama ku ratapi. Melihatmu riang dengan segala peperangan. Duh, sungguh aku telah membuka tabirmu lama sekali dan selalu saja aku melihatmu membawa sebilah belati. Kau putar-putar dan kau lesapkan. Sedang kau belum pernah mengenal tajam sunyi di matanya yang patah saat mengeja nama kita. Sisa-sisa perjalanan kau hanya membawa ketamakan. Aku jadi ingin menangisimu sekali lagi.

Biarlah sajalah, dadamu kau busungkan, sedang doa yang ku kirim demi mengisi kedukaan hanya mengalir dan jatuh di alas kakimu. Tapi ku kira kita memang hanya perlu bersapa, tanpa perlu banyak mereka-reka, karena aku akan lebih merasa kecewa. Pengharapan kadang membuat kita berlebihan. Saat kau kirim sajak-sajak bising, ingin sekali ku tebas lehernya dan tak kan ada darah yang mengalir. Karena hanya kosong dan kau tak pernah belajar mengosongkan. Selain mengisi dan selalu kutukan sebagai isyarat, kau belum pernah ke mana-mana selain dendam yang purba.

Kini biarlah aku berpaling dari rindu yang kau tawarkan. Sungguh aku takut membencimu atas nama belati yang selalu kau kirim setiap pagi. Karena kelak ia pasti tertancap dan patah di dadamu sendiri. Dan itu sakit sekali. "Kau masih takut bukan?"

Saat itu kau akan tahu betapa bebal sejenak perjalanan. Dan kita bukan apa-apa di setapak jalan.

Semarang, 02/10/09