Kau pasti telah tahu lebih dulu, bahwa percakapan kita pasti selesai. Maka kau biarkan aku datang dan secangkir teh hangat telah lama kau siapkan. Kadang kelu juga lidahku, karena kau memang lebih memilih menjalani perdebatan dengan segala yang mengabu. Sampai sepi pun harus kita habisi saat maghrib terlampau cepat datang, waktunya aku pulang dengan senyum kecil, dan sebait rindu selesai juga kita tuntaskan. Sudut matamu bercahaya, serupa rahim kunang-kunang yang dari sana memancarkan pendar cahaya temaram. Sewarna bulan yang matang, kini bulan itu jatuh tepat di sudut matamu. Sungguh kelak pastilah aku merindukanmu. Walau tanpa percakapan yang panjang, sunyi dengan segala yang diam.
Maka lelaplah kita saat setengah bayang bulan jatuh di tiang keranda. ah,, matamu, sajak-sajakku tersesat di sana, lemparlah kembali dan kirim ke muaranya. Seperti saat kita kenangkan duka lalu nafas kita yang panjang melepaskan segalanya.
Lelaplah lelap dan katupkan matamu lewat doa-doa yang tersesat di tepi ranjang kita. Dan selesaikanlah kau tenun duka-duka, karena aku takut mengelus pipimu yang merah masak, juga ku kirim sunyi ke lubang telingamu. Hingga tak ada suara lain yang kau dengar selain denging dan detak jantungmu sendiri.
kadang menyebut namamu,
kadang menyebut namaku,
kadang tak siapa-siapa,,,
Lelaplah lelap dan habisi segala duka lewat kelopak matamu.
Kita memang mudah kalah dan rela di habisi,
tapi kita belum selesai bukan?
Ku cium keningmu dalam pendar bulan, juga sajak-sajak yang tanggal.

Semarang, 05/09/09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar