kita singgah, dari punggung angin sampai ke langit tak terjamah. kita sempat menemu sebagai huruf di bilangan waktu. aku masih tak mengerti mengapa mesti mengenalmu semacam ini.
ku bilang mata belati itu genap. tapi kau terus bersepakat bahwa luka selalu ganjil. sekarang aku sudah tak memiliki apapun untuk melunasi cemasmu itu. dan kita terus tetirah di punggung angin yang dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar