Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

11 Oktober 2011

yang sempat terselip di halaman kata (Suara Merdeka 11 September 2011)

Pulang

tuhan, luka dalam sajakku bertubi-tubi menujumu
lantas, malam yang entah kelak
gelas-gelas kosong tanpa arak atau sajak, kutenggak

di rumahmu, aku pulang tanpa wajah
di ranjangmu, kulucuti satu persatu tubuhku

aku demam bergetar-getar
seperti sejak mula kelahiran sampai ajal
dadaku ini zikir detak
menghentak-hentak
tanpa hitungan,
tanpa bilangan

Semarang, 03 Juli 2011


Setelah Berlayar

pencarianku terus saja meredup

aku kembali, tanpa sekalipun menemuimu
dan jika mereka bertanya, kuberi mereka peta
yang sama sekali tak pernah kulalui

"kau minta kaleidoskop?"
takkan ada apapun yang kau teropong sebenarnya
selain hanya wajahmu sendiri

baiklah, kapal ini kukaramkan
dan tak ada pilihan lain bagi kita
selain berenang
atau terus terapung-apung di laut kegamangan

"pilihan lain katamu?"

bagaimana jika tenggelam?

semarang, 15 Mei 2011


Ranjang dan jendela yang retak

tuhan,
biarkan sajak,
biarkan bulan di sudut kaca jendela itu meretak,
berkaca-kaca
di mataku
yang serpihannya kelak
di pakainya bercermin
sekalipun tak utuh
sekalipun tak penuh
tapi cukup
untuk
menemukan bayangnya sendiri
saat sepi adalah alamat terakhir
yang tertulis di ranjang ini

Semarang, 30 Desember 2010


di antara lorong kota dan percakapan kita

kota ini telah mendaur ulang kesenyapan
menjadi berjuta-juta tubuh kita
menjadi semacam kau
atau aku
yang terus menerus luput
mengeja doa
lalu dari percakapan ini
tak ada yang tersisa
selain jejak yang tercecer
dari rindu kita yang nisbi
dan lorong ini,
semakin panjang
semakin jauh menuju
langit angkuh
sepi

kota ini tak lelah-lelah mendulang air mata
atau tawa
lalu kita, terus-menerus kehilangan
entah atas apa

Bekasi, 18 Januari 2011


Sabda Amba

bisma, lihatlah aku yang terlahir sebagai mata panah takdirmu. saat kau disumpahi kutuk, akulah amba yang tiap malam kekal dalam remuk reruntuk. rindu paling nisbi telah menikam kita, sayang. maka kujemput ajalku lewat runcing mata panahmu yang bermuara di jantungku.
bisma, menangislah sejadi-jadinya. akulah kelak mata panah yang menyusun ranjangmu. saat purna kutuk dan usia. ku kecup jantungmu. ku kecup lembut, dewabrata.

Semarang, 2 Juni 2011

Tidak ada komentar: