Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

29 April 2010

Sketsa Wanita Bersayap Iblis

Ada yang berdenging sampai bising. Sampai kabut teramat sepi, dan perabot-perabot rumah seperti memaki.
"Selamat usang seperti kami!"

Lalu lampu-lampu melebarkan bayang tubuhmu. Merayapi dinding sampai gelisahmu benar-benar tak tentu. Ini yang purba sejak luka tak lagi dari nganga, yang kerap datang saat pancaroba. Merayap di garis pecah tapak kaki. Lalu hujan juga dadamu itu.

Rumah ini tempat memampatkan segala yang terkucur dari di telapak tangan. Asin dan membasahi gaun merah yang membalut tubuhmu. Dan malam berdetak semakin kencang melemparkan sabit yang teramat nyata. Gerak arloji yang melambat dan jantungmu seperti tertahan semakin pelan.

Kau seperti lelah terduduk di depan kaca. Membersihkan wajah yang belang, sisa-sisa bedak sesore yang surup tadi. Lipstik yang belepotan dan bibirmu jelas berkerut, pucat pasi. Tapi, bayang-bayangmu tak memperlihatkan apa-apa. Tak menunjuk dirimu atau tubuh yang mengendur otot-ototnya.

"Kita milik siapa sebenarnya? Jika waktu memang tak pernah punya pintu. Tak melempar atau menarik tubuhmu. Pada ranah yang tak sepenuhnya nyata."
Kau hanya terduduk dan melepas resah di sudut meja.

“Aku tak pernah memulai apapun. Maka tak ada yang harus kuakhiri.”
“Seperti sajak ini?” tanyaku subuh itu.

Barangkali, dan aku lelah menjadi pendosa hanya karena bertanya tentang “kenapa?” dan “bagaimana?”.

“Sesekali aku ingin membenci Tuhan. Tapi aku terlampau takut.”

Gelap yang larut dan air matamu yang turut mengendap bersama-sama dengan ampas kopi. Sayap malam yang tanggal saat kepul rokokmu terlempar seperti mengabarkan hidup memang sial. Tapi apalah itu, jika kau masih tak ingin memejamkan matamu barang sekali.

Atap-atap yang merunduk dan saat kau sadari bahwa apapun yang terjadi saat ini kau mulai hampir tak perduli. Kamu mulai mencair, lumer dan menjadi genangan di rumahmu sendiri. Bahkan sebelum Langit memberi pagi dengan kepul asap di tungku dapurmu. Kau sudah benar-benar luruh.

“Aku selalu mencintai subuh, tapi tidak pagi. Karena bunyi-bunyian dari ranting dan burung-burung kerap membuatku alpa.”

Maka kubiarkan saja kau terjaga. Mengawasi langit-langit kamarmu dengan curiga. Saat laba-laba merayap cepat dengan jaring-jaring gaib yang mulai menutupi ranjang dan menjalin tubuhmu menjadi semacam debu. Kau masih berpura-pura waspada.
Saat itu aku akan kembali menyusup. Melewati lubang mulut, hidung, telinga atau bahkan pori-pori kulitmu. Saat itu aku akan memaksamu terpejam. Melupakan setiap peristiwa. Menerbangkanmu ke langit sebagai wanita berbibir senja, hangat dan menggetarkan, melempar api dan kutuk di sudut-sudut kota.

Lalu saat kau kembali tersadar, kau harus memulai lagi hidup lebih awal dengan segala kemalangan baru, rindu yang sial dan segala tanda tanya. Sedang kau semakin kehabisan waktu.



Semarang, 22/04/2010

12 April 2010

Hujan Terakhir Bulan Ini

Hujan terakhir bulan ini
aku masih saja terlambat
sedang cangkir-cangkir mengabut
kita menenggak sepi yang kalut
“Maaf, aku menunggu langit yang ribut seharian”
maka sisihkanlah gerimis
yang kerap membuatku lumer
dan tergenang di sudut matamu

kau lihat gerak arloji?
seperti memutar tubuhku kembali
menyusuri gang sepi di pergelangan tanganmu
“Ini jam berapa?” tanyaku
“Masih seperti dulu
dan kau masih terlambat
mengetuk pintu” jawabmu

hujan telah reda
tak ada yang tersisa

Hujan terakhir bulan ini
aku benar-benar terlambat
sedang tak ada yang berubah dari langit
aku justru tersesat
di kerut usang tudung keranda
yang menyimpan bau tubuhmu
apak dan purba

hujan ini isyarat sepi
pintu rumahmu berderit
tak terkunci

Semarang, 31 Maret 2010

8 April 2010

Aku Daun Pintu Rumahmu

Aku pintu rumahmu, dalam lelah yang panjang selalu terjaga dan menungguimu di dalam. Biar selalu terlewati aku tak pernah perduli. Sesekali kau datang, menghampiriku, menyandarkan punggungmu ke tubuhku, lalu kau pandangi senja yang semakin puncat dan makin tak hangat. Takkan ada yang datang hari ini, karena sebagai pintu aku tahu siapa yang akan mengunjungimu. Lewat angin yang lesap dan berjalan teramat cepat, aku mencium bau takdir atas dirimu. Nama-nama yang dikirim cuaca. Tapi tidak untuk hari ini. Tapi kau masih menunggu, seperti tak rela pada sepi. Dalam keyakinanmu selalu kau nyatakan bahwa kaulah sepi itu sendiri dan hanya ada kau, padahal selalu ada aku.

Sebagai pintu, akulah yang memilihkan tamu-tamu yang mendatangi rumahmu. Lalu jika ada luka, kau dengan mudahnya mengibaskan tubuhku teramat keras. tapi aku tetap setia. berdiam di muka. membuka dan menutup begitu saja. Sampai kau punya kisah dan mengakhirinya dengan tubuhku yang patah.

“Barangkali besok ada yang mengetuk sekali lagi.” Ucapmu
“Besok tak ada siapa-siapa” bisikku dengan sedikit berderit. Lalu kau pergi, kembali menikam mimpi di kamarmu.

Kau kira aku tak punya mimpi?
Yah. Aku memang lelah bermimpi. Tentang rumah yang tenang dan kau datang bersama senja, bukan untuk menunggu tapi menatap pendar hangat dengan apapun yang kau miliki saat ini.
Sekarang sudah mulai dingin dan tutuplah aku, seperti kau tutup kelopak matamu, sampai kelak kukirimkan kabar atas mimpimu.

“Besok akan ada yang mengetuk pintumu dan aku siap patah sekali lagi”

Semarang, 22 Maret 2010