Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

10 Desember 2010

Sketsa Bulan Retak di Atas Ranjang

bilamana bulan meretak, lalu kuhirup itu pendar cahaya keperakan dari ruas-ruas dadamu. ada yang menyesak dan penuh di paru-paru. sedang kau memang tak pernah cukup dalam puisi, dalam halaman-halaman buku yang menulis namamu namaku untuk kesekian kali.

"dinding-dinding kamar dan ranjang ini memang telah terlampau basi" ucapmu.

"bagaimana dengan tikaman belati itu, sayang?
apakah cukup untuk sekedar mengenal
betapa dendam dan rindu adalah hal paling nisbi?"  bisikku sembari menggeliat erat menyusuri punggung pundakmu.

kaupun tahu bagaimana malam telah berubah menjadi mata panah 
yang melesap cepat dan meruncing tajam dalam kepala kita.

lalu derik udara menjadi begitu sepi,
ada yang berdenging dan membuat kita terus berpusing
menekuri debu-debu yang disisakan ranjang itu
tempat segala dendam dan rindumu menetes
membentuk peta sungai
menderas,
melarungkan batang-batang doa
yang beranak pinak di garis-garis mata
lalu muara biru bernama laut itu tercipta
menyelimuti tubuh kita dalam ombak,
dalam sesak yang mengeliat
melempar bilangan-bilangan almanak
menyeret nama-nama pada kedalaman paling tua
di dada kita

selebihnya, dermaga sepi di garis tanganmu selalu memaksa perahu dari tulang punggungku kembali, melambat ke tepian, melempar tali pancang dan tertambat untuk kesekian kali.

sedang ingatan adalah mata logam paling runcing yang menajam sampai retak bulan itu. garis-garisnya membentuk peta wajahmu. melesap lindap cahayanya,
kita hirup
penuh
dan sesak.

"setelah ini adakah yang disisakan waktu untuk kita, sayang?”

selain rindu dan dendam yang terus membatu. meruntuhkan puing-puing tubuh kita pada bau busuk masa lalu. dan logam-logam itu terus berjatuhan dari langit malam paling sialan. saat tak lagi kutemui kau sebagai kekasih, sebagai laut paling dalam.

Semarang, 10 Desember 2010


*lukisan berjudul Bulan di atas jendela,  70 x 90 cm acrilyc on canvas, 2004 karya wang arif yang di ambil lewat ijin di blog beliau di http://wangarif.wordpress.com/2010/02/21/bulan-di-atas-jendela/  

2 komentar:

joko samodra.blogspot.com mengatakan...

Mantab broooooo....!
Jangan pernah enggan menggoreskan pena
untuk tetap mengukir karya
tinggalkan cerita untuk anak cucu
agar generasi mendatang tak mati rasa
kecintaan terhadap sastra

Unknown mengatakan...

siap pak boooosss.....
pangestune mawon pak.