Lapar
Nun, tak akan pernah sampai batin
ini selain ketika bening matamu kunikmati dalam sendiri. laparlah yang membikin
kita merasa masih menjadi manusia. dan suatu ketika, kau akan bertanya perihal
burung-burung di langit yang berlayaran ketika mega mendung menitikkan hujan.
sementara, suaranya yang bersiul-siul di dadamu telah membikin sepi di mataku.
ada api yang menjilati udara di
sini, di lambung ini
sementara detik-detik bertanggalan
di jendela.
“kau
dengarkah tiktak nya?”
kehilangan adalah hal yang
sederhana, Nun. maka berbahagialah. seperti sore yang mengajarkan kita
berkemas. sementara rel-rel kereta telah menuntun sepatu kita kepada cemas.
“adakah
suatu sore nanti, dapat kubenarkan letak syal yang berjuntaian di lehermu. dan
sepotong api, kutitipkan pada ranum dadamu. lalu kupandangi kau, lama sekali.”
marilah tetap merasa lapar seperti
ini, Nun. kita semakin menjadi manusia karenanya. dan aku menjadi ingat, bahwa
aku pernah mengasihimu; yang diam-diam menyalakan lentera, di kepalaku
Yogyakarta, Mei 2016
Nyala
lampion di sepasang mata
seperti nasib yang tak akan pernah
kita miliki, Nun
lampion-lampion yang bermalam-malam
kita nyalakan
dikibas kering angin baratan
lantas segalanya kembali, kepada;
padam
dan sebuah pintu yang semalaman kau
buka
telah membawa ribuan burung-burung
yang tua
dan dari kelepaknya yang satu dua
berderit-derit cericit seperti
derit jendela
semacam suara saat aku mengingatmu,
Nun
mereka-mereka yang memasuki dada;
matanya seperti lampion yang hampir
padam
seperti matamu, sebuah mercu yang
terus mengintaiku
"kemarilah,
Nun. engkau yang jauh
yang pernah melipatku di muram subuh"
Yogyakarta, 2013 - 2016
Pulang kepada
malam, Pulang kepada laut
pulanglah kepada malam, Nun
ketika langit di kaca jendela memuram
bulan yang lindap itu mencair
sebuah perahu dari tulang belulangku berlayaran di
langit itu
"kau tahu
kapan Tuhan mencipta cahaya?"
bisikmu saat dingin dermaga menekan dada
marilah pulang kepada malam, Nun
saat burung-burung origami beterbangan di laut yang
murung
kapal-kapal pun turut pulang
pada sebuah dermaga, dengan tiang-tiang lampu
yang nyalanya malas menggapai bayang;
“di laut yang
mana aku akan tenggelam?”
bisikmu terasa benar menekan dada
ketika bulan jatuh di kaca jendela
langit yang jauh, membisik tiada
angin menampikmu
sebagai suara
di dermaga
yang tak pernah sampai
yang tak pernah pulang
Yogyakarta, 2016
atau, silahkan kunjungi Galih Pandu Adi, Media Indonesia 3 Juni 2016