Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

25 November 2010

Malam di Kaca Jendela


Pada malam yang merayap di kaca jendela
Telah lahir peri-peri bersayap daun
Menebar gaib serupa kabut
Mengail jejak di sisa rumput
Juga di atas jalan maut mematung
Menatap jisim-jisim bercinta di bangku kota
Daging mencium daging, tulang menggesek tulang
Lelah mengeja istirah

Di atas ranjang pandangan kita terlampau panjang
Malam berkabut di ujung kaca adalah maut yang lupa hendak menjelma apa;
mencium siapa?

Semarang, 22/11/2008

gambar di ambil pada album photo facebook milik d.m.l.v.
http://www.facebook.com/sqlcode#!/album.php?aid=5749&id=100001441290185


22 November 2010

Sebelum Ku Kabarkan (Perbincangan dengan El Nugrahaini "Dangau Ilalang" beberapa tahun silam)



Sebelum ku kabarkan lelayu di rumahmu
Kita telah benar-benar meragu
Orang-orang bermata sayu
Tak tahu siapa yang harus dirindu
Siapa yang menyerahkan kita pada ajal yang tabu

Begitu angin luput,
Kita bersidekap menuju maut

Dan aku takkan mampu mengabarkan batu di atas rumahmu
Serupa melafadzkan doa
Kepada langit yang kau eja

Sebab telah cukup kau telan batu
Sebab kau kunci doa di sebalik lidahmu

Dan luka-luka di balik bayang
Seperti gerimis sebelum petang
Seperti kita yang menangis dalam gamang

Semarang, 30/01/09


*Puisi ini lahir dari percakapan saya dengan el beberapa tahun lalu. puisi telah menjadi sebuah jalan untuk bertemu, memenggal tubuh, dan membiarkan kata-kata terkucur semaunya. dan tak sengaja pertemuan beberapa dgn teman dan perbincangan dalam puisi membuat kami begitu dekat atau bahkan jauh dengan puisi. sebagian ada yg telah tersimpan rapi, sebagian tercecer dan memilih kediamannya sendiri. dan secara tak sengaja puisi ini, yg tercipta atas perbincangan dengan el telah tersimpan rapi namun tercecer dan saya menemukannya kembali secara tak sengaja. mungkin ini waktunya puisi ini kembali, mencari tuannya, menjadi penghuni, dan mencari rumah-rumah yg tepat di dada pembacanya.
Kalimat dengan garis miring adalah jawaban dari dia. Eh ternyata banyak jalan menuju puisi. Thanks buat el. Untuk yang pengen kenal dengan el silahkan kunjungi http://dangauilalang.blogspot.com/

*gambar di ambil pada album photo facebook milik d.m.l.v.
http://www.facebook.com/sqlcode#!/album.php?aid=5749&id=100001441290185

18 November 2010

sepotong sajak untukmu, kekasihku

kekasihku, mata belati dan roncean melati ini memang hanya untukmu
maka, aku hanya mengabarkan luka
betapa ngarai di dadaku tak putus-putus menjatuhkanmu
pada bebal batu dan gemetar tangismu

kekasihku, secangkir kopi dan rindu yang basi ini memang hanya untukmu
maka, ku kunci kau pada lipatan-lipatan ingatan
yang membuatmu terus berseteru
dengan bau busuk masa lalu dan rasa asing
yang berterbaran lewat degup jantungmu

kekasihku, saat kita kembali ke ranjang ini
ingatan kita telah terlampau jauh mengembara
menziarahi waktu dan pintu-pintu
menetak leherku dan detak jantungmu
lalu ranjang ini, menjelma sebuah kota yang tetap sepi
tak ada nama atau tanda-tanda yang kita kenali
selain hujan logam dari matamu
terus-menerus mengikis
meruntuhkan puing-puing tubuhku

Semarang, 18 November 2010

gambar di ambil pada album photo facebook milik d.m.l.v.
http://www.facebook.com/sqlcode#!/album.php?aid=5749&id=100001441290185
 

15 November 2010

lalu aku menjadi terlampau

lalu aku menjadi terlampau kemarau, saat kau kembali mencintaiku
dengan galau.
lalu aku menjadi terlampau laut, saat namamu kian luput kusebut
tubuhmu meluruh menjelma kabut.
lalu aku menjadi terlampau belantara, saat gemetar nafasmu kembara
tak lagi kenal muara.
lalu aku menjadi terlampau debu, saat kursi-kursi taman dari tubuhmu gemetar
dalam hujan, dalam partitur rindu.
lalu aku menjadi terlampau air mata, saat doa-doa kita tak lagi menunjuk peta
perjalananmu lewat ruas-ruas jalan urat darahku akankah sia-sia?
lalu aku menjadi terlampau
terlampau
lampau

Semarang, 15 November 2010

13 November 2010

Sebuah Fragmen Panggung

lalu, panggung inipun kembali
sepi
gemetar lampu
melebarkan bayang-bayang tubuhmu
merayapi meja kursi
atas resah tak bertuan
atas percakapan yang meruncing tajam
adalah hanya kata yang kelak akan kembali
sunyi
menyusuri panggung sepi,
kotak-kotak properti,
tumpukan naskah,
dan lakon yang terlambat
dipentaskan

Semarang, 3/11/2010

11 November 2010

Rumah

kita haruslah pulang
menyibak daun pintu
menekuri peta yang disisakan waktu
pada dinding-dinding retak


sedetik tadi kita telah menjadi sejarah
menjadi barisan sepi yang tak pernah istirah
maka akupun tetap harus kembali
mencarimu di antara riak debu
di antara lipatan-lipatan musim yang membuatku terus membatu

maka aku pulang,
menuju rumah berbau gaib di dadamu
yang berdetak sepi
yang selalu membuatku pergi
untuk kemudian
memaksaku kembali


Lasem, 07/11/2010

Tentang yang terduduk di bangku penumpang dan bangku jemputan II

aku terduduk,
kepul rokok, koran lokal,
secangkir kopi dan butir-butir rindu yang mengendap.
sungguh ini sepi yang kucipta sendiri
yang tak tuntas
lalu kita mencecap getir dari wajah kereta itu


peluit kereta, doa-doa, keberangkatan, kelahiran
kematian
gerbong keranda
para pelayat meronce kamboja
memilin namamu namaku
dari sepi yang di sisakan bangku-bangku itu

Semarang, 03/11/2010


Tentang yang terduduk di bangku penumpang dan bangku jemputan

lalu saat pintu-pintu kereta itu mengatup
suara peluit,
tubuh-tubuh hilir mudik,
sisa nafas yang tertahan di lokomotif
kau akan mengerti
betapa sepi peron ini.


Semarang,02/11/2010