Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

21 Februari 2009

Sepertinya Langit Memang Berjarak Selepas Januari Ini



Sepertinya langit memang berjarak selepas januari ini
Kita pun jatuh di punggung waktu
Bersama riwis yang tak sekedar gerimis
Daun-daun yang mengapung di jalan
Juga tulang-belulang leluhur
Menunggu di kubur
Sedang kita gelisah mencuri nama-nama di rak-rak buku
“Kau mencari siapa?”

Sepertinya langit memang berjarak selepas januari ini
Hujan pula yang mengendap di tapak-tapak kaki
“ini pertanda, langit mencintaimu” katamu
Sedang kita masih juga bertanya
Siapa yang harus lebih dulu berdusta,
Di balik matamu hujan tak juga reda

Sepertinya langit memang berjarak selepas januari ini
Lewat logam-logam yang jatuh di gang-gang sepi
Juga sajak-sajak yang tanggal disebalik punggung kita yang saling lekat
Saat kita masih juga bertanya
Siapa harus menghabisi
Siapa

Semarang, 12/02/09

Dan Bacalah




Ha Na Hang
Ka Ra

Ku Ti Ba
illal La ha
Wo Hing Kal lima Ti,..

Iq Ro’ Bis Mi
Gus
Ti

Semarang, 23/12/08

18 Februari 2009

Bulan di Rumah Sunyi


; Kekal Hamdani

Tangan kananku basah
Tapi hujan tak sepenuhnya bersalah
Bulan,... Bulan,...
Aku singgah di kerut-kerut mukamu
Dan gemeretak pada laut yang ibu
"dulu aku mencuci muka di sini"
Mencuri-curi lebam yang ku sisipkan di saku bajumu
Terimalah tenungku dari muara rindu
juga kutuk yang merayapi warna rambutmu
Pudarlah,... Pudarlah,...
Api-api dari doa yang sunyi
Jatuh atas nama rumah
Ku cium tanah
Kekal di sisi batu

Sisa Perjalanan di Beranda Rumahmu


; Pratiwi Y.A.

Lewat angin telah ku kirimkan kabar
Betapa nama-nama di garis tanganku
Telah terhenti pada sudut rumahmu
Dan hujan lagi-lagi mengaduh
Tentang gemeretak yang usai saat subuh
Ah,.. aku pulang
Sisa perjalanan hanya istirah
Di kursi beranda dari punggungmu
Yang kau sisakan jauh sebelum luka-luka menepisku
di depan pintu

Aku mengeram sunyi di sini
Memintal api
Dan kita menari
Sampai sesaat sebelum pagi
Anak-anak kita kan bertanya
“abu siapa berserakan dan mengotori halaman depan?”


14 februari 2009

8 Februari 2009

Dan Sabit. Pulanglah,..



Sedang sabit yang menetap di keningmu
Selalu menetak jalan-jalan di leherku
Maka lewat hujanlah aku istirah
Dan kau tak pernah sudi menyerah
Tetirah kepada padang-padang dan beranda-beranda rumah.

Pulanglah, ku tembangkan sajak-sajak tanah
Seperti saat kelahiranmu,
Ku tembangkan mijil di telinga kananmu
Pertanda kijingku di keningmu

18/01/09

Bulan tak Utuh



Bulan memang tak pernah utuh seperti katamu
Ruas-ruas bambu di bawahnya merapalkan mantra-mantra
Seorang lelaki bermain simpul-simpul luka

Ah,.. hantu-hantu menyeruak di kelopak mataku
Serupa debu
Sejak itu aku selalu menangisi kepergianmu
Maka ku kunci bulan perak dan berhala batu
Dendammu ku sarungkan
Angin selalu patah sejak itu

Semarang, 07/02/09

2 Februari 2009

Perbincangan Melalui Puisi. Perbincangan yang Menjadikan Kita Sebagai Sebuah Puisi


Malam kemarin, aku sedang merasa kebingungan yang tiba-tiba. Aku ingin menulis puisi tapi hanya sebait saja yang mampu ku tuliskan. Puisi itu berbunyi; "Dari batu yang selalu kekal saat matiku,/Seorang duduk di atasnya sembari bersekutu mengutuki gaib,/Yang sial mencuri waktu di desing telingamu,/“Rahasia,… kita diam-diam saja bercumbu//”. Aku berfikir,.. mungkin saling berbagi puisi mengasikkan. Maka sebait puisiku tadi ku kirimkan ke beberapa orang teman antara lain; Gema Yudha, Anthoni, Wikha Setyawan, eL dangauilalang, Neto, juga mas Agung Hima dan Khumaida. Dan apa yang terjadi? Aku mendapat kiriman balesan puisi yang banyak dari mereka dan dalam waktu yang hampir bersamaan. Maka ku tulis lagi puisi-puisi buat mereka, dan tentu saja berbeda untuk masing-masing. Setelah berakhir aku mulai terbata-bata. "aku menulis puisi?". Ku baca lagi puisi-puisi dari mereka dan puisi-puisiku yang ku kirimkan kepada mereka. Ah, aku tersadar ,.. Aku merasa ada perasaan yang sama antara kami. Aku hendak bermain dengan kata-kata yang telah lahir ini. Kesadaranku bahwa kami saat ini senada dan puisi-puisi kami adalah serupa. Bahkan kami mungkin bagian kecil dari puisi itu. Berloncatan, dalam kegamangan. Maka kurangkai lagi puisi-puisiku yang kutulis barusan dan puisi mereka. Menjadi satu puisi yang utuh. Sebuah percakapan dengan puisi. Seolah menjadikan kami satu puisi.

Aku sadar puisi dapat lahir dengan berbagai cara. Tak perlu satu penyair yang sedang terbata. Bahkan mungkin puisi dapat lahir dari perbincangan yang senada. Antara kau dan aku.

Dan lahirlah puisi untuh ini dan ku beri judul;


Dari Kegaiban Yang Menjelma Kata di Dada Kita



Dari batu yang selalu kekal saat matiku

Seorang duduk di atasnya sembari bersekutu mengutuki gaib

Yang sial mencuri waktu di desing telingamu

“Rahasia,… kita diam-diam saja bercumbu”

Kemudian kata-kata lindap di udara yang senyap

Seorang lelaki menanam tawa di pucuk batu

Jembatan kayu memanggilnya pada tubuh yang layu;

“kemari, kemari, titipkan lukamu padaku”. (Gema Yudha)

“Jembatan itukah aksara-aksara dari tubuhmu?”

Aku datang, datang menujumu

Dan telah ku bawakan oleh-oleh kepala bocah

Tumbal yang mengeja riwayatmu


Sial kau! Nama-nama di celah jendela mengumpati ragu di matamu


Ah betapa gila! Orang-orang di depanku serupa berhala

Bergoyang-goyang, meraba, dan tertawa

Sabit di pinggangnya masih ada bekas darahmu

Menari di atas kepalaku

Gelas-gelas di belakangmu

Berisi gelap yang ganjil

Serupa bohlam yang menunjukkan arah kencingmu

Tapi kau pilih abai di puncak batu. (Antoni)

Bahkan langit di sejengkal kepala kita

Takkan tahu siapa mengeja namaku

Aku tak memilih apapun

Sadang gayung yang ku siramkan,

Mengalir juga di saku bajumu


Kau titipkan lukamu di daun-daun layu

Mencoba menggapai abai pada jerit tawa orang-orang di depan kita

Mungkin kaulah batu yang diam-diam menanam kelam

Lalu tubuhmu mendaraskan kata-kata yang,

Berharap,

Menikam malam diam-diam. (Gema Yudha)

Di sebelahku patung lembu

Ku buat dari doa dan ia menertawaiku

Sedang malam-malam serupa wajahmu

Bawakan aku reranting cahaya

Yang kau tangkap di udara

Orang-orang kini gagap ditelan senyap

Ku benamkan kata-kata di wajahku

Ejalah serupa doa yang di rajah orang tua kita

Kata-kata akan sampai

Tapi selalu mungkin untuk tercerai. (Gema Yudha)


Di sanalah asalnya luka,

Semacam pisau lipat yang selalu berdiam di rusuk kirimu

Menikam ke dalam (eL Dangauilalang)

Bahkan aku selalu menerima luka-luka yang matang di sepunggung bonekamu

Kekalkan ini, dan kita tertawakan nganga

Ia tak bisa berbuat apa-apa

Bahkan untuk menusuk rusuk kananku

Berlubang dalam kenanganmu

Menjelma jantra,

untuk tangan yang tekun

menenun air mata (eL Dangauilalang)


Masihkah kau mengeja tiap-tiap huruf

Dalam mushaf-mushaf pada kitab-kitab?

Ataukah kini kita sedang terjebak

Dalam semesta pekat tanpa ujung.

Percumbuan itu sudah terasa anyir

Saat kau bawakan secangkir kopi pagi tadi. (Neto)

Sedang selalu saja ada kemungkinan

Yang menceracau pada keutuhan dalam diam

Aku mengekalkan sebuah angin

Yang menghabisi puntung rokokmu

Saat kau terbata, bagaimana cara menelan puisiku

Bagaimana mungkin ku telan puisi-puisi

Yang kau sajikan rapi dengan appetizer dan delight sundae itu

Sementara kau terus kucurkan nipis

Pada semua luka yang kau goreskan

“Setebal itukah kau bangun puing dalam gedung pencakar langit yang terpadatkan kata? (Neto)

Maka kau cukup melihat saja

Kata-kata yang hendak ku bangun di atas nisanmu

Aku hanya ingin menulis riwayat di garis tanganku

Maka berpendarlah kau

Sembari kupasi tiap helai merpati yang ku kirimkan kepadamu. (Neto)

Ku trima itu

Aku ingin menciummu

Sebagai istirah yang tenang atas percakapan kita yang bisu

Sst,.. Maka sunyikanlah bisikmu

Bersama ramainya tetes hujan pada bulan desember. (Neto)


Ku temukan hujan di kelopak matamu

Terlempar

Mereka-reka

Kemarauku

Yang beludru

- Suatu malam - (Wikha Setyawan)


Ah kau mengingkari waktu!

Kau mengingkari waktu!

Sedang puisi-puisi yang merambat di dadamu selalu saja bertanya

“Apa sudah saatnya?”



Yah aku meyakini puisi adalah dunia yang mampu menarik siapa saja pasa sebuah ruang. ada bahasa yang ku baca, ada spiritual yang ku eja. maka siapa saja yang yang telah menjejak di bahuku. mari kita melebur bersama. tak hanya dalam kata tapi pada titik yang sama. ruang yang membuat kita sama-sama berkaca. I Love U


NB; Buat temen-temen saya di atas yang telah menjadi teman dalam menulis puisi ini dan semua puisi-puisi saya. saya ucapkan MAKASIH!!,.... :-)