Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

27 November 2008

Rumah Sakit

Pada mulanya gedung ini tak berpenghuni. Lalu orang-orang bertubuh layu mencari teduh mulai menempati. Mereka dapati beranda yang kosong, lantai yang kosong. Meja dan kursi terbuat dari serat-serat yang juga kosong. Karna memang tak ada apa-apa di gedung ini selain pikiran mereka sendiri.
Mereka tidur di alas pikiran mereka sendiri. Makan dengan angin yang siup sepi, dan mereka senang. Lalu satu persatu dari mereka mulai mati karena sebanarnya mereka tidak memakan apa-apa selain sepi. Api-api yang hangat dipikiran mereka hanyalah siup angin yang gigil. Tapi orang-orang di kota menganggap mereka mendapat berkah dari gedung tak berpenghuni ini.
“Lihatlah! Orang-orang yang kena kutuk itu mendapat obat disini. Mereka tidur dengan nyenyak. Makan kenyang sampai istirah mereka yang panjang di dapat di sini.”
“Mungkin dulu ini adalah rumah seorang nabi. Dan rumah ini adalah sisa kerahmatannya yang kekal untuk umat.”
Lalu berbondong-bondong orang-orang kota itu mendatangi gedung ini. Mereka terkesima melihat pendahulunya sudah tergeletak mati.
“lihat mereka orang-orang kena kutuk itu di rahmati. Mereka sembuh! Ini yang kita cari!”
Dan perlahan-lahan mereka tempati gedung tak berpenghuni ini bersama mayat-mayat yang mulai busuk, kikis seperti daun di mulut ulat-ulat yang bermertamorfosis menjadi malaikat. Mereka jalani juga kehidupan seperti penghuni-penghuni sebelumnya. Mereka tidur di alas pikiran mereka yang kosong, membaca koran-koran yang bohong, mandi, bercinta, berkelahi di otak mereka yang hanya kosong, bahkan sampai makan dengan berak mereka sendiri.
Lalu satu-satu mereka mati, tanggal serupa almanak yang jatuh tiap hari. Tak seperti di luaran, waktu hanya mengekalkan bisu tak berjalan dan di kota dan di rumahnya mereka tak bisa mati, abadi kecuali di gedung ini. Dan disini mereka dapati ajal sebagai obat yang kekal dari kutuk tentang abadi.
Mati di otak mereka yang kosong dan sepi.

26 November 2008

Dan daun-daun pun jatuh...

; Nien Nurullita, Gema Yudha, Adin Khoiruddin, Khumaida

“Dan angin akan tetap berhembus dengan sejuta bisik gaibnya, hingga tak ada seorangpun yang mampu mengenalnya… (entahlah)”.(Nien Nurullita)
Hingga pada waktu, batu-batu mencium bisu. Jatuh di punggung tanah, angin tak pernah pulang ke rumah…

Dan daun-daun pun jatuh…
“Dan daun-daun pun jatuh, meranggas tak kenal musim. Tapi tak ada gelisah. Mungkin pasrah…” (Gema Yudha)
Lelap pada tanah. Musim di atasnya pancaroba yang lelah. Rumah di bawahnya mengeja istirah…

Dan daun-daun pun jatuh…
“Ada kata yang belum terungkap hingga pada akhirnya aku menyerah.”(Khumaida)
Kita kalah. Terlampau lelah. Di punggung tanah dekaplah istirah.
"Jarakmu dan jarakku saat ini tak seberapa jauh dengan cara aku mengenalmu. Kau pasti sedang menilaiku mengingkari namaku sendiri dengan mengatakan bahwa sampai saat ini aku masih suka mengingatmu”.(Khumaida)
Jarak itu adalah sedekat urat leher, sejauh malam di kaca jendela. Pada akhirnya sepi yang berkuasa. Dan kita berbelok pada gang yang berbeda. Ia pasti mengira aku memintal kutuk itu. Ia bahkan tak tahu. Tak tahu gaib me’reka apa.
Menjelma siapa

Dan daun-daun pun jatuh…
“Segala mengabur, bayanganmu bayanganku. Sementara dahan tempat bertahan sudah tidak dipercaya kuatnya. Batang-batang pun kelak tumbang bukan?(Adin Khoiruddin)
Maka pada tanah kita jatuh. Usai dan….

“Itulah kehidupan.”(Nien Nurullita)

*Puisi ini lahir atas bantuan teman-teman saya diatas. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih untuk mereka…

25 November 2008

Di Ujung Almanak

Almanak di dinding batu
Pada sisi itu kita memang harus menunggu
Ibu di situ
Dengan kembang kantil di tangannya
kita tak henti mengecupinya

Pada akhirnya sepilah yang berkuasa
Sejenak perjalanan
Kita harus berbelok pada gang yang berbeda
Di sana pelayat menunggu
Kamboja
Juga doa di putiknya
Ia menanti di sana

Percintaan hanyalah iba yang tak reda
Gemetar
Lalu tiada

Selepas Gerimis

Selepas gerimis

Kita tak hendak beranjak dari lengang yang riwis,

Aku kau tak hendak beralih

Dari langit maha kabut

Kita yang terpilih

memintal kutuk itu,

Kita yang terpilih menunggu

Tangan gaib mana merabamu

Juga mengulurkan kenanga?

Matamu ungu

Merancap ujung keris bisu

Nafasku kelembak dupamu

Melawatmu